Jumat, 19 April 2024

SK Penurunan Status CA Kamojang Tetap Harus Dicabut

Hutan Cagar Alam Kamojang. Dok. Aliansi Cagar Alam Jawa Barat

BANDUNG.- Jalan  keluar masalah penurunan status kawasan Cagar Alam (CA) Kamojang dan Papandayan, tidak cukup hanya menangguhkan seluruh izin pemanfaatannya dan melakukan kajian komprehensif. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) juga harus mencabut SK. 25/MenLHK/Setjen/PLA.2/1/2018  yang menjadi dasar hukum penurunan status dari CA menjadi taman wisata alam (TWA) itu.

“Pencabutan SK itu sebenarnya yang  didesakkan kawan-kawan dari Aliansi Cagar Alam Jawa Barat. Sebab akar masalahnya ada di situ. Jadi tidak hanya mengevaluasi, sementara SK itu tetap ada,” kata Direktur Eksekutif  Wahana Lingkungan Hidup (Walh)i Jabar, Meiki W. Paendong, kepada apakabar.news di Bandung, Sabtu (21/11/2020)

Seperti diberitakan, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian LHK, Wiratno, meminta Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat  menangguhkan seluruh perizinan pemanfaatan di TWA Kamojang dan Papandayan.

Penangguhan izin dilakukan sebelum ada perubahan atas SK.25/MenLHK/Setjen/PLA.2/1/2018. Penegasan Wiratno disampaikan setelah mendapatkan rekomendasi dari Tim Evaluasi Hasil Penelitian Terpadu Perubahan Fungsi sebagian  CA Gunung Kamojang dan CA Gunung Papandayan.

SK tersebut mengatur perubahan fungsi dalam fungsi pokok kawasan hutan dari sebagian kawasan CA Kamojang seluas 2.391 Ha (perbatasan Garut dan Kab Bandung) dan CA Gunung Papandayan seluas 1.991 Ha (Garut) menjadi TWA. Penetapan status itu menimbulkan reaksi dari masyarakat, antara lain dari Aliansi Cagar Alam Jawa Barat.

Kepentingan ekonomi

Menurut Meiki W. Paendong, SK tentang penurunan status kawasan itu ditolak aktivis lingkungan karena hanya mengakomodir  kepentingan pembuatan sumur-sumur baru  geothermal (panas bumi).  Selain itu keputusannya juga terkesan diam-diam,  tidak melibatkan pihak-pihak lain yang bekepentingan dengan persoalan lingkungan.

Hal senada juga dikemukakan Supardiyono Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).  “Cabut dulu SK penurunan status kawasan itu. SK tersebut  tidak komprehensif, tidak  ada bahasan tentang risiko bencana.  Hanya melihat keuntungan ekonomi saja. Sementara alam semakin rusak,” tegasnya.

Aktivs lingkungan, Dadan Ramdan, berpendangan serupa. Baginya, terlepas dari isi hasil evaluasi tim penelitian terpadu, setelah SK itu dicabut baru kemudian diterbitkan SK baru yang merujuk pada kajian-kajian  lanjutan.

“Seharusnya ada batas waktu kajian. Apakah waktunya 3 bulan atau 6 bulan. Dengan demikian , ada kejelasan kapan SK baru dibuat dan dikeluarkan. Tentu SK baru tersebut dibuat setelah mengakomodir semua hasil kajian dan masukan masyarakat seperti  Aliansi Cagar Alam Jawa Barat ,” ujarnya.

Harus diawasi

BBKSDA Jabar harus dipastikan mengimplementasikan semua isi arahan yang tertuang dalam surat Dirjen KSDAE. Kemudian BBKSDA membuat laporannya secara lengkap.  Masyarakat harus mendapatkan tembusan laporannya. Sedangkan dalam surat Dirjen KSDAE tidak dijelaskan berapa lama peninjauan melalui kajian komprehensif akan dilakukan.

Meski demikian, Meiki mengapresiasi apa yang dilakukan Wiratno. Artinya Kemen LHK mendengar hasil evaluasi yang dilakukan tim. Terutama mengakomodir desakan dan argumentasi  dari Aliansi Cagar Alam Jawa Barat.  Namun yang  jadi masalah, bagaimana agar keputusan itu bisa dilaksanakan jajaran di bawah Kemen LHK.

“Dalam hal ini  harus adanya pengawasan di lapangan. Mereka yang memiliki kewenangan melakukan monitoring. BBKSDA harus melakukan peninajuan lapangan secara rutin di kawasan konservasi. Itu harus dilakukan,” kata Meiki. (Sup)***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: