SUATU hari, Tamim al-Dari datang ke Madina. Dia menyuruh budaknya membuat pelita minyak yang dibawanya dari Suriah. Kebetulan hari itu adalah hari Jumat. Masuk ke masjid, Tamim merentangkan tali dari tiang ke tiang, lalu menggantungkan pelita-pelita itu di sana. Begitu matahari terbenam, pelita dinyalakan.
Sebelumnya, untuk menerangi masjid, para sahabat melakukannya dengan cara membakar jerami kurma. Ketika Nabi Muhammad masuk, beliau heran melihat pelita-pelita itu. “Siapa yang membuat ini?” tayanya. “Tamim al-Dari, wahai Rasulullah,” jawab sahabat. “Kau telah menyinari Islam. Semoga Allah menyinarimu di dunia dan diakhirat,” ujarnya.
Itulah untuk pertama kalinya, masjid di Madinah memakai penerangan lampu yang menggunakan minyak. Selain tidak ada penerangan serupa itu, pada awalnya masjid juga tidak memiliki mimbar tempat Nabi berbicara kepada orang banyak. Memasuki tahun ke-7 dan ke-8 Hijriah, kaum muslim membludak dan memadati masjid.
Beberapa sahabat –antara lain Sa’ad bin Ubadah dan Tamim al-Dari- mengusulkan agar dibuat semacam tempat khusus untuk Nabi berdiri, sehingga kelihatan sampai ke bagian belakang. Maka Nabi pun mengirim utusan kepada seorang perempuan untuk menyampaikan pesan, “Suruhlah budak Najjarmu membuatkan penyangga tempat aku duduk kala berbicara kepada orang banyak.”
Titah Nabi disambut antusias oleh budak itu. Dibuatlah sebuah mimbar dari pohon tamaris dari Ghabah, sebuah tempat tidak jauh dari Madinah. Setelah rampung, Nabi menunjuk tempat yang pas untuk meletakkan mimbar tersebut. Ada tiga undak di mimbar itu, dan Nabi duduk di undak ketiga ketika berbicara kepada jemaah. (Enton Supriyatna Sind, dari buku Ketika Nabi di Kota karya Dr. Nizar Abazhah)***