Selasa, 19 Maret 2024

Abu Dzar, Kematian Tragis Tokoh Anti-Korupsi

Ilustrasi padang pasir.

KEMATIAN tokoh anti-korupsi itu sungguh tragis. Padang pasir Rabadzah yang panas menyaksikan dengan pedih. Napas Abu Dzar Alghifari semakin melemah. Lalu menghilang seperti disapu angin gurun. Hanya istrinya yang menunggui dengan setia hingga saat-saat terakhir.

Tidak ada sehelai kain kafan pun yang dimiliki  perempuan tersebut untuk membungkus jasad Abu Dzar.  Tidak ada peralatan dan tenaga yang cukup untuk menggali liang lahat, bagi  peristirahatan terakhir lelaki yang sepanjang hidupnya  mengobarkan perlawanan atas  rezim tiran itu.

Kematian yang sudah begitu dekat, tidak membuatnya menjadi luluh dan melunak. Sikap tegasnya terhadap pemerintah yang korup tetap terjaga. Pesan terakhir pada istrinya adalah: jangan bungkus tubuhku dengan kain yang berasal dari pegawai pemerintahan.

Itulah akhir kehidupan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang memiliki tempat khusus di hati Rasulullah. Dia meninggal dalam kesunyian. Fragmen ini seperti menjadi sebuah pembenaran atas sabda Nabi: “Abu Dzar berjalan sendirian, meninggal sendirian dan akan dibangkitkan sendirian.”

Pada zaman yang dipenuhi praktik curang ini,   ada baiknya kita mengenang kembali tokoh Abu Dzar. Dan rasa-rasanya di negeri ini dibutuhkan lebih banyak lagi orang seperti dia, yang tidak pernah berhenti meneriakkan perlunya pemerintahan yang bersih, transparan dan adil.

Sebagai lelaki yang lahir dari suku Ghifar, Abu Dzar adalah seorang pemberani, terus terang dan jujur, sebagaimana umumnya orang-orang gurun. Segera setelah Khalifah Utsman tampil sebagai pemimpin kaum Muslimin, Abu Dzar menyaksikan benih-benih korupsi dan ketidakadilan mulai tumbuh. Kemudian lama-kelamaan menggurita.

Orang-orang di sekeliling kekuasaan telah memanfaatkan kedekatan dan kekerabatan untuk meraih sebanyak-banyaknya kekayaan. Para sejarawan mencatat, pada era ini praktik korupsi, kolusi dan nepotisme sudah sedemikian parah.

Melawan dengan lisan

Abdu Dzar yang hidup dan selalu berada dalam bimbingan Nabi, sangat risau melihat kenyataan seperti itu. Ingin rasanya dia menebas leher para penilap uang rakyat itu dengan pedangnya sendiri. Namun dia teringat akan sabda Nabi: “Jika kamu menemukan ketidakadilan, bersabarlah. Jangan gunakan pedangmu, lakukan perlawanan dengan lisanmu.”

Maka mulailah Abu Dzar melakukan perlawanan secara terbuka dengan lisannya. Dia berpidato di berbagai tempat, di tengah orang banyak, di depan tempat tinggal khalifah. Dia tidak pernah ragu untuk menegur pejabat pemerintahan yang batil, walaupun itu kerabat dekat Nabi sendiri.

Karena kerasnya itu, kemudian Abu Dzar diasingkan dari Madinah ke Damsyik (kini Syria), tempat Muawiyah berkuasa sebagai gubernur. Saat itu Muawiyah tengah membangun “Istana Hijau” dengan bantuan arsitek Romawi dan Persia.

Abu Dzar selalu muncul setiap hari di tempat itu. Dia berteriak lantang, “Hai Muawiyah, jika kau bangun istana ini dengan uang sendiri, maka perbuatan  itu mubazir. Dan jika kau bangun dengan memakai uang rakyat, maka hal itu merupakan pengkhianatan.”

Ketokohan Abu Dzar mendapat tempat di hati rakyat Damsyik. Banyak orang yang mendukung gerakan moral tersebut. Simpati bagi perlawanan Abu Dzar mengalir setiap hari.  Tentu saja kenyataan ini membuat gundah Muawiyah karena khawatir kepopuleran Abu Dzar mengancam posisinya.

Dia mencoba menyuap Abu Dzar dengan sekantong emas. Tapi siasat itu ditolak mentah-mentah. Beberapa kali Abu Dzar dibuang ke sejumlah tempat, tapi tidak juga membuatnya kapok. Dia tetap berteriak menuding ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang makin merajalela.

Akhirnya Abu Dzar dituduh sebagai provokator dan biang keresahan. Maka sahabat Nabi itupun dibuang ke sebuah tempat sunyi di padang pasir, Rabadzah namanya. Lokasi itu adalah gurun panas tanpa air, berada di lintasan jemaah haji. Orang dilarang mendekatinya  apalagi memberi bantuan. Di tempat itulah Abu Dzar dan istrinya wafat. (Enton Supriyatna Sind)***

 

 

 

1 Comment

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: