Selasa, 19 Maret 2024

Sanghyang Kenit, Susur Gua di Citarum Purba

Foto: ESS

Dalam masyarakat Sunda, kata “hyang” sering digunakan sebagai ungkapan penghormatan kepada eksistensi spiritual tak kasatmata. Bisa berupa tempat atau benda yang dianggap memiliki kekuatan supranatural. Lazimnya di depan kata ini ditempatkan “sang” yang juga menunjukkan sikap memuliakan. Maka, betapa banyak nama tempat atau benda yang didahului sebutan sanghyang.

Di wilayah Kabupaten Bandung Barat, setidaknya terdapat empat tempat berjuluk sanghyang. Dikenal karena menawarkan keindahan yang menjadi hiburan bagi ruhani. Ada Sanghyang Tikoro, Sanghyang Heuleut, Sanghyang Poek dan Sanghyang Kenit. Semuanya berada di kawasan Waduk Saguling.

Nama para hyang itu kini banyak wara-wiri di media sosial, sebagai tujuan wisata alam yang eksotis. Dari keempat lokasi bersangkutan, Sanghyang Kenit yang lebih dekat lokasinya dari jalan nasional. Selain pemandangannya indah, juga menawarkan wisata air dan petualangan susur gua. Dari pusat Kota Bandung berjarak sekitar 41 km dengan waktu tempuh lebih kurang 1,5 jam.

Setelah sepeda motor kami meliuk-liuk di kelokan yang membosankan sepanjang Padalarangan-Rajamandala, belok kiri di pertigaan menuju Waduk Saguling membuat napas lega. Sekaligus menyelamatkan kami dari intimidasi mobil-mobil besar. Hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai di Sanghyang Kenit, Cisameng Cipanas, Rajamandala Kulon, Kec. Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.

Usai membayar tiket masuk Rp 8.000 per orang plus Rp 2.000 untuk parkir sepeda motor, berjalan kaki sedikit, sampailah di bibir Sungai Citarum purba itu. Pandangan mata langsung tersedot bentangan dinding batu kapur menjulang warna-warni dengan dominasi putih. Sementara air bening hijau toska mengalir di bawahnya. Bongkahan batu hitam dan merah terserak di banyak tempat.

Rasanya seperti memasuki gerbang besar, menyambut siapa saja yang datang untuk menziarahi alam sekitar. Pelancong akan segera tergoda untuk berpose di begitu banyak spot foto. Dinding berwarna kuning, berpadu air kehijauan dan bentangan batu putih di seberangnya, adalah salah satu spot foto favorit. Sangat instagramable.

“Di sini mah airnya aman. Meski musim hujan tiba, tidak perlu khawatir. Paling naik sedikit. Setelah itu surut lagi,” kata Dadang (30) seorang pemandu dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sanghyang Kenit, Sabtu (27/3/2021). Sebuah rakit bambu terpakir di atas bebatuan. Jika air sedang naik, para pelancong antre untuk menaikinya. Sebagian lagi berenang dengan menggunakan ban.

Dibendungnya aliran Citarum purba untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Rajamandala, mengakibatkan aliran air yang melewati Sanghyang Kenit mendangkal. Bebatuan muncul ke permukaan. Dinding sungai bagian bawah tersingkap. Arus yang semula deras, menjadi jinak dan menyisakan aliran sungai yang menggoda. Meskipun suara gemuruhnya tetap terdengar.

Kondisi alam itulah yang kemudian membangkitkan kreativitas warga setempat untuk menata dan menjadikannya sebagai objek geowisata. Warung-warung hadir di tempat itu. Demikian juga dengan musala dan toilet. Tenaga pemandu siaga memberi pelayanan kepada pengunjung. Pada Sabtu dan Minggi, pengunjung mencapai ratusan orang.

Foto: ESS

Kristal bergelantungan

Menurut T.Bachtiar, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung, laut dangkal yang jernih 27 juta tahun yang lalu, membentang dari Tagogapu di Bandung hingga Palabuanratu di Sukabumi. Setelah gunung-gunung api bermunculan, laut dangkal itu menjadi terangkat ke permukaan, membentuk batukapur yang dikelompokan ke dalam Formasi Rajamandala. Sanghyang  Kenit berada dalam formasi tersebut.

Di tepi sebelah kiri dari arah masuk lokasi, terdapat lorong atau gua. Jalan masuknya menganga. Inilah tempat keluarnya air (bongborotan) dari dalam gua ke Citarum paling hilir. Tidak afdal kiranya, jika berkunjug ke Sanghyang Kenit tapi tidak menyusuri guanya. Tidak akan merasakan sensasi petualangan ke dalam bumi yang gulita.

Tinggal pilih mau menyusuri jalur panjang atau jalur pendek. “Kalau susur gua jalu panjang, jarangnya sekitar 600 meter. Masuk dari sini, keluar di Sanghyang Tikoro. Memerlukan waktu 40 menit perjalanan. Tarifnya Rp 150 per orang. Kalu jalur pendek, hanya 150 meter. Butuh waktu 15 menit, keluarnya masih di daerah ini. Tarifnya Rp 25.000 pers orang,” kata Dadang.

Sanghyang Tikoro adalah goa yang sekaligus menjadi sungai bawah tanah dengan air yang mengalir deras. Kata T. Bachtiar lagi, dalam bahasa Sunda, organ tubuh yang disebut tikoro itu sama dengan kerongkongan,  tempat masuknya makanan dan minuman. Sungai bawah tanah tersebut dianalogikan sebagai kerongkongan tempat masuknya air dan makanan ke dalam perut sang dewa alam. Ada legenda yang sekian lama diyakini,  Sanghyang Tikoro adalah tempat bobolnya danau Bandung Purba.

Kami memilih paket pendek saja. Sebelum berpetualangan, dua pemandu memimpin doa dan mewanti-wanti agar tidak menyentuh stalaktit yang menggantung langit-langit gua. Konon, pembentukan stalaktit sangat lama. Untuk tumbuh 1 milimeter saja butuhkan waktu 1 tahun. Jika disentuh, benda berujung lancip bagian bagian bawahnya itu bisa “pundung” atau ngambek. Tidak mau tumbuh lagi.

Dengan dua lampu senter kami memasuki kegelapan gua. Pada mulanya, disambut bunyi tetesan air dan suara kelelawar kecil, yang membawa suasana mistis. Namun segera kami disodorkan pemandangan yang menakjubkan. Dengan sorotan lampu, stalaktit terlihat bergelantungan bagai lampu kristal. Air yang menetes, mengkilap seperti embun di ujung daun. Interior yang bikin betah.

Begitu lapang di dalam gua. Bisa duduk-duduk dan berfoto. Lewat cahaya senter, tampak jalan panjang menuju Sanghyang Tikoro. Sebetulnya di gua ini terdapat lima bongborotan. Bagi yang punya waktu luang dan nyali, boleh juga dicoba satu per satu. Tetapi tentu harus tetap dengan pemandu. Sejauh ini, kata pemandu, tidak ada hewan membahayakan.

Foto: ESS

Durasi petualangan di gua memang pendek, cuma seperempat jam. Namun serasa menyusuri lorong waktu yang panjang, menapaki masa lalu para leluhur. Selepas itu, hammock yang menggantung di antara dua batu, sudah menunggu. Siap memanjakan tubuh, berayun-ayun dielus angin semilir. (Enton Supriyatna Sind).***

1 Comment

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: