Selasa, 19 Maret 2024

Dewi Sartika: Perahu Kecil di Lautan Luas (2)

 

Buku Kautamaan Istri karya Dewi Sartika

RADEN Ajeng Kartini dan Raden Dewi Sartika menghadapi stigmatisasi (sikap merendahkan) kaum perempuan. Pada masa itu, terdapat dua hambatan di tengah masyarakat yang membuat langkah perempuan terpasung, yaitu pemahaman agama yang sempit dan adat istiadat yang sudah mengakar.

Perempuan tidak perlu bersekolah, kata para orangtua. Soalnya, meskipun ber­pen­didikan, perempuan tetap tidak akan ”menjadi orang” seperti kaum lelaki. Perempuan itu cukup berperilaku baik, bisa memasak nasi, bisa bikin sambal, dan merapikan rumah untuk mengabdi kepada suami. ”Cenah hayang bisa nulis, mènta baè dipapatahan ka salakina.” (halaman 17)

Kaum agamawan juga ada yang tidak menghendaki kaum perempuan bersekolah. Mereka menilai, anak perempuan cukup mengaji, belajar salat yang baik, menghafalkan sifat dua puluh (sifat-sifat Allah) supaya menjadi orang baik dan ada manfaat untuk men­cegah syahwat. ”Da awèwè mah kudu gedè bendungan. Awèwè mah teu meunang katènjo ku lalaki sèjèn, anging ku salakina jeung akrabna. Ku sabab èta awèwè mah teu hadè disakolakeun.” (halaman 17)

Dewi tidak melawan sikap itu secara frontal. Dia menilai, alasan-alasan itu tidak salah dan didasari pada kekhawatiran anak perempuan mereka salah melang­kah. Dalam pandangannya, setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, tidak cukup hanya menjadi orang baik. Mereka harus memiliki pengetahuan dan keterampilan agar kelangsungan hidupnya terjaga.

Di sekolah untuk perempuan itu, ditambah tiga pelajaran lagi yang lebih spesifik. Pertama, karajinan istri yang meliputi menyulam, songket, merenda, menjahit, membuat kembang kertas, dan meng­gambar. Kedua, imah-imah, seperti merapikan, mencuci, melipat, dan menyetrika pakaian; mencuci perabotan rumah, membersihkan halaman dan mengurus makanan. Ketiga, olah, yakni belajar mengolah makanan.

Dewi Sartika memilih melawan pandangan negatif di tengah masyarakat dengan cara memberi nasihat dan teladan kepada murid-muridnya. Dia memuji pribadi Karel Frederik Holle, seorang Belanda pemilik perkebunan di Garut yang juga diangkat menjadi penasihat Pemerintah Hindia Belanda. Tokoh yang dikenal dengan nama KF Holle itu sangat berminat terhadap bahasa dan kesusastraan pribumi, khususnya bahasa Sunda.

Dari Holle, Dewi Sartika mencontoh ketekunan dalam memajukan masyarakat dalam bidang pertanian. Karena setiap saat diberi nasihat dan teladan, banyak kemudian penduduk setempat yang hidupnya lebih baik. Wawasan kaum pribumi itu pun menjadi lebih terbuka, dengan keterampilan yang meningkat pula.

Perahu kecil

Nasihat dan teladan yang sedang dipraktikkan itu, ujar Dewi Sartika, ibarat sebuah perahu  kecil yang dinaiki oleh anak-anak perempuan menuju ke negeri kemajuan mengarungi lautan luas dengan ombak yang besar. Tanpa keterampilan, semangat, dan ketekunan, mungkin saja perahu  tenggelam di tengah samudra.

Namun, di tengah lautan itu, muncullah sebuah kapal besar yang sangat bagus dan nyaman, memberi bimbingan dan petunjuk jalan menuju negara kemajuan. Lantas, apa yang diibaratkan perahu kecil itu? Dewi Sartika menjawabnya sendiri, tiada lain adanya sebuah perkumpulan yang berdiri di Bandung atas prakarsa inspektur sekolah, JCJ  van Bemmel, yang akan memajukan kaum perempuan. Oleh karena itulah, Bupati Bandung menamai perkum­pulan tersebut dengan ”Kautamaan Istri”.

Kekhawatiran para orangtua terjadi karena tidak paham manfaat sekolah. Mereka mengira, kata Dewi, sekolah hanya belajar membaca, menulis, dan berhitung. Padahal, di sekolah, diajarkan pula berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, terutama aktivitas khas kaum perempuan.

Dia menulis secara terperinci tentang pelajaran khusus tersebut. Sederhana, tetapi berpengaruh terhadap kepribadian. Bersèka, yaitu tubuh, pakaian, perlengkapan sekolah, tempat duduknya harus bersih; tata, yakni segala tindakannya tertata, tertib serta sopan dalam pergaulan di berbagai lapisan masyarakat; basa, berarti menggunakan basaha secara benar dan memperhatikan adab.

Kemudian tukuh, artinya disiplin terhadap waktu dan dapat menggunakannya secara baik. Waktu untuk belajar jangan digunakan untuk bermain; nurut, artinya patuh melaksanakan tugas dari orangtua dan guru; suka, mencari kesenangan hati dengan cara bernyanyi, mendongeng, main musik, bermain bersama teman atau membuat kerajin­an tangan; hadè hatè, bersih hati dan penuh kasih sayang kepada teman.

Pelajaran lainnya adalah gemi, yaitu belajar mengelola uang dengan baik supaya tahu nilai uang dan agar tahu betapa sulitnya mencari uang; serta mikir, yakni membuka akal pikiran agar wawasan menjadi luas, bisa memilih baik dan buruk, salah dan benar, serta enak dan tidak enak.

Dewi merasa senang hati ketika pelajaran  itu ternyata cepat diterima mu­rid-muridnya. Perubahan kepribadian mereka nyata terlihat. Mereka tumbuh percaya diri dan penampilan pun jauh lebih baik. Murid-murid Dewi Sartika ini ibarat virus yang cepat menyebar, memberi pengaruh positif pada lingkungan.

Mereka yang tamat sekolah ternyata bisa menjadi andalan orangtua. Dewi Sartika mengungkapkan rasa bangganya ketika mendapati lulusan Sakola Istri sudah bisa membantu usaha orangtuanya di Pasar Baru Bandung. Ia bisa menggunakan alat tulis dan buku catatan, mencatat barang dagangan, dan bisa bertransaksi.

”Jeung deui geus rèa anu dagang kutang, baju erok, rènda rènda, saputangan jeung sajabina. Ieu geus kauninga ku nu agung  sarta jadi kabungahanana, tina ningali kamajuan abdi-abdi. Sarta lamun  sakabèh urang pribumi (kolot-kolot) di mana-mendi geus ngarti kabèh kana hasilna awèwè disakolakeun, saperti nu enggeus-enggeus di Bandoeng, tangtu abdi-abdi beuki tambah-tambah madjoena” (halaman 20). (Enton Supriyatna Sind/”PR”)***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: