Nama Karel Frederik Holle (1829-1896) begitu akrab bagi siapa saja yang punya minat pada bidang perkebunan teh, sastra Sunda, pendidikan, filologi atau sejarah di Jawa Barat. Lelaki kelahiran Amsterdam, Belanda ini memang memiliki perhatian pada banyak bidang. Dibandingkan orang-orang Belanda pada umumnya saat itu, Holle dikenal sangat dekat dengan orang-orang pribumi.
Dia berbaur dengan masyarakat di Garut dan terbiasa menggunakan pakaian seperti mereka. Bahkan pernah suatu ketika, rekannya kaget ketika bertemu Holle di perkebunan dengan berpakaian layaknya penduduk setempat. Sesuatu yang tidak biasa bagi orang-orang Eropa yang disebut-sebut berperadaban lebih maju.
“Akan tetapi kita juga harus merlihat, Holle beradaptasi begitu rupa karena punya tujuan tertentu. Dia sedang menggarap sebuah proyek perkebunan teh, khususnya di Cikajang Garut. Dia ingin apa yang direncanakannya, ide-idenya, bisa diterima dengan baik oleh masyarakat,” kata budayawan Hawe Setiawan ketika diskusi buku “Puisi Sunda Zaman Belanda” karya Tom van den Berge, belum lama ini di Sekebalingbing, Cimenyan, Kabupaten Bandung.
Membicarakan buku yang diterjemahkan Hawe tersebut, mau tidak mau juga menyinggung peran Holle. Selain sebagai pebisnis, dia memiliki minat minat besar pada kebudayaan Sunda. Dia rajin keluar masuk kampung dan mengoleksi naskah Sunda. Dia fasih berbahasa Sunda. Bahkan dalam penerapannya lebih fasih dibanding orang Sunda sendiri.
Kita kutip apa yang dikatakan dosen Program Studi Asia Universitas Nanzan, Jepang, Mikihiro Moriyama dalam bukunya Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19. Disebutkan, aktivitasnya sebagai kolektor dan persahabatannya dengan Haji Musa menjdi faktor penting dalam mengembangkan minat pada kebudayaan Sunda.
Dia menginisiasi usaha penerbitan naskah-naskah wawacan untuk pendidikan dan penyuluhan pertanian. Karel Frederik Holle mulai mendukung pendidikan masyarakat Sunda setelah 1851, ketika ia dan saudaranya Andriaan Walraven Holle menerbitkan buku fabel. Sampai 1880-an ia berperan penting dalam produksi buku-buku berbahasa Sunda oleh penulis-penulis Sunda.
Sebelum Snouck
Menurut Hawe, sebelum Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) diandalkan pemerintah kolonial sebagai pemerhati keislaman, Holle sudah melakukannya lebih dulu. Keduanya memang sama-sama punya posisi sebagai Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda. Keduanya juga punya pandangan yang sama, semisal “Jangan ganggu kegiatan ritual orang-orang Islam. Tapi waspadai dampak politik dari kegiatan itu”.
Beberapa kasus di Tatar Sunda ketika itu yang berkaitan dengan resistensi orang-orang Islam terhadap penjajah, pernah ditangani Holle dan melahirkan sejumlah rekomendasi. Antara lain tentang gerakan kaum tarekat di Priangan. Holle membuat laporan yang demikian rinci. Lalu merekomendasikan agar dilakukan pemecatan terhadap para pejabat di pemerintahan, yang diindikasikan dekat dengan kaum tarekat.
Orang-orang Garut memanggilnya dengan sapaan Tuan Holla. Dan karena sering berpenampilan menyerupai orang Islam, apalagi dengan janggut panjang, penduduk setempat menyebutnya dengan nama baru, “Sayyid Muhammad bin Holla”.
Nah, Mang Hawe kini sedang khusyu sepenuh jiwa menerjemahkan buku tebal biografi Sayyid Holla itu. Buku tersebut berjudul “Karel Frederik Holle Theeplanter in Indie 1829-1896” yang juga ditulis Tom van den Berge. (Enton Supriyatna Sind)***