Senin, 29 April 2024

Hassan Wirajuda: Jika Tidak Konsisten, Dibodohi Negara Lain

Hassan Wirajuda. Foto: ESS

BANDUNG.- Sikap yang  tidak konsisten dalam pelaksanaan konsep Wawasan Nusantara, dapat menimbulkan kerugian bagi bangsa Indonesia sendiri. Misalnya, Indonesia pernah dibodohi negara lain untuk menjual tanah dan air dengan harga sangat murah. Selain itu, kekayaan laut diekspor tanpa mempertimbangkan risiko yang akan terjadi bagi lingkungan dan para nelayannya.

“Mungkin akan kaget mendengarnya. Dulu kita pernah menjual tanah dan air kepada Singapura. Kita menjual pasir, dibodohi Singapura,” kata mantan Menteri Luar Negeri RI, Hassan Wirajuda pada sawalamaya “Reaktualisasi Pemikiran Kebangsaan dan Kenegaraan Ir. H. Djuanda Kartawidjaja”, yang digelar Panitia Kongres Sunda, Minggu (13/12/2020).

Webminar itu membahas tentang Deklarasi Djuanda, yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja. Pada pokoknya, deklarasi itu menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia, menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Inilah yang kemudian disebut sebagai Wawasan Nusantara.

Menurut Menlu di masa Presiden Megawati Soekarnoputeri ini, pasir dari Indonesia dijual dengan harga murah yakni 7 dolar Singapura per meter persegi (m2). Akhirnya praktik penjualan itu dihentikan, kemudian harganya dinaikkan menjadi 27 dolar Singapura per m2. Diakuinya, ada koleganya yang sangat menginnginkan penjualan pasir diteruskan lagi.

Pada masa Presiden Soeharto juga pernah ada perjanjian dengan Singapura, yaitu menjual air Rp 10,00 per meter kubik (m3). Ini perjanjian yang paling lemah di dunia, karena tidak bisa ditinjau kembali dan tidak ada batas akhirnya. Kemudian dicari cara untuk menghentikan jual beli tersebut.

“Ya akhirnya saya, Pak Dorojatun Kuntjoro-Jakti sebagai Menko Perekomomian saat itu, juga Pak Budiono, Menteri Keuangan, membicarakan ini. Untung ada klausul yang mengatakan, perjanjian ini berlaku setelah dibentuk semacam tim bersama. Lalu kita sepakati tim bersama tidak akan dibentuk, dengan demikian perjanjian itu menjual air tidak terlaksan,” tuturnya.

Dikatakan, UUD 1945 mengamanatkan tentang bumi air dan kekayan yang terkandung di dalamya dikuasai negara, yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun kenyataannya, malah kekayaan lautna dijual dalam bentuk menjual benih lobster untuk kepentingan segelintir orang. Sedangkan kepentingan nelayan tidak terperhatikan.

Harus konsisten

Seharusnya bangsa Indonesia konsisten untuk mengimplementasikan Deklarasi Juanda dan Wawasan Nusantara. Namun sayang sekali implementasinya tersendat, tidak lagi disuarakan dan tidak dilanjutka. Baru pada pada 2015 Presiden Jokowi kembali menyebut kebijakan dasar yang menyangkut kewilayahan dalam konsep Wawasan Nusantara, yaitu “Poros Maritim”.

“Tapi itu disebut-sebut pada kabinet periode pertamanya. Pada periode kedua sudah jarang terdengar lagi konsep tersebut dibicarakan. Padahal kalau kita terikat pada konsepsi kewilayahan, kepulauan Nusantara, Wasan Nusantara, maka hendaknya laut menjadi bagian penting dari kebijakan negara di berbagai bidang. Saya ikut prihatin bahwa seringkali ini dilupakan,” tutur Hassan Wirajuda.

Menyinggung kelahiran Deklarasi Djuanda, dia menyebutnya sebagai koreksi terhadap konsep kewilayahan Indonesia. Di dalamnya memuat asas-asas kewilayahan RI yang baru. Dalam pespektif ini,  “tanah air” merupakan sebuah kesatuan, bukan “tanh dan air” yang tepisah.

Setidaknya ada tiga hal penting yang membuat Deklarasi Djuanda mendesak untuk diwujudkan saat itu. Pertama, terjadinya permberontakan di berbagai, yang antara lain menuntut otonomi daerah. Kedua, terjadinya konfrontasi pihak RI dengan Belanda yang mengarah pada konfrontasi bersenjata.

“Kapal perang Belanda dengan bebasnya melenggak-lenggok di Laut Jawa. Mengancam kedaulatan kita saat itu. Tapi kita tidak punya wewenang apa-apa untuk mencegat atau menahan mereka. Karena itu statusnya laut internasional,” ujar Hasan Wirajuda.

Sedangkan faktor ketiga berkaitan dengan nasionalisasi pada perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia. Dengan kata lain, sistem hukum dan sistem politik yang berlaku sapai 1957 tidak bersahabat dan malah merugikan Indonesia. Karena itulah dibutuhkan hukum baru yang menguntungkan Indonesia.

Deklarasi itu kemudian dikuatkan dengan UU No. 4/1960 tentang Perairan Indonesa. Dari konsep kewilayahan diterjemahkan menjadi konsep Wawasan Nusantara, yang melihat wilayah Indonesia secara utuh dari perspektif politik, hukum, ekonomi, budaya dan militer pada tahun 1973. Sedangkan  untuk menjadikannya sebuah konsepsi negara kepulauan memerlukan 25 tahun perjuangan diplomasi. (Sup)***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: