Kamis, 25 April 2024

Ciuman Sang Nabi

BURUH. Selalu saja menarik untuk diperbincangkan. Kelas semut pekerja ini berkali-kali menjadi inspirasi penting dalam sejarah peradaban manusia. Bahkan pada tingkat tertentu telah melahirkan berbagai gerakan revolusi di mana-mana, dengan tema ekstrim pertentangan antarkelas.  Indonesia pernah menjadi tempat eksperimen pertentangan antarkelas, tapi tidak  berhasil. Sebab kondisi yang disyaratkan tidak terpenuhi.

Pertentangan tajam seperti di tempat lain memang tidak pernah terjadi di negeri ini, antara buruh dan pemilik modal atau antara petani dan pemilik lahan, yang memantik api revolusi. Meski demikian tidak berarti nasib buruh berada dalam kondisi sejahtera dan berkeadilan. Situasi yang jomplang antara dua status itu menjadi kenyataan sehari-hari. Upah buruh jauh tertinggal dengan kecepatan naiknya harga-hara kebutuhan pokok.

Feodalisme yang sering dikecam habis-habisan oleh manusia modern, terkadang bermetamorfosis ke dalam situasi kerja yang serba mutakhir. Seringkali kaum pekerja menjadi warga kelas dua di depan kaum pemilik. Kaum pekerja terkadang   dianggap sebagai beban, dan bukan sebagai aset perusahaan. Kaum pekerja adalah hamba sahaya, sedangkan pemilik adalah juragan dengan kekuasaan tanpa batas.

Keadaan seperti ini menempatkan pekerja pada posisi yang lemah, tidak memiliki daya tawar yang baik. Keringat para buruh yang keluar dari setiap lubang pori-pori, seolah menjadi tangisan  massal meratapi nasib sendiri. Padahal  buruh sejatinya adalah gerigi yang menggerakan kumparan, energi yang menghidupkan mesin, dan semangat yang memutar harapan.

Memang di beberapa perusahaan dibikin semacam serikat pekerja sebagai wadah dialog buruh dengan perusahaan. Tapi seringkali juga perusahaan menempatkannya sebagai formalitas belaka.  Sebuah kamuflase agar tampak seolah-olah demokratis. Seolah-olah hak hidup berserikat terjamin dan merdeka untuk bersuara.

Para buruh pun sering mengeluhkan ketiadaan perlindungan yang memadai dari pemerintah. Dalam kasus-kasus hubungan industrial, selalu saja tampak keberpihakan yang kelewat kentara dari birokrat kepada kalangan pengusaha. Dengan cukup mengaku pailit, misalnya, perusahaan terbebas untuk memenuhi kewajibannya pada buruh yang kena PHK dan perusahaan pun tutup dengan nyaman.

Tukang batu

Mumpung masih dalam masa peringatan Maulid Nabi, ada baiknya kita melihat bagaimana manusia suci ini memperlakukan para pekerja. Segera setelah hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad SAW menata seluruh sendi kehidupan masyarakat. Tidak ada sehari pun dijalani dengan sia-sia. Nabi selalu bergerak, memastikan kondisi warganya. Hingga beliau kenal betul dengan berbagai profesi yang dijalani warga Madinah.

Nabi sangat menghargai para pekerja keras. Suatu hari ketika sedang berjalan mengitari Madinah Nabi bertemu dengan seorang laki-laki bernama Saad bin Muadz. Ketka bersalaman, Nabi merasakan telapak tengan pria itu kasar. Ketika Nabi bertanyan, Saad menjelaskan pekerjaannya sebagai tukang pemecah batu untuk menghidupi keluarga.

Nabi kagum atas keuletannya sebagai kepala keluarga. Bahkan untuk menunjukkan penghargaan kepadanya, Nabi mencium tangan lelaki tersebut dengan khidmat. Manusia paling mulia, mencium tangan yang mulia.Nabi berkata, “Inilah tangan yang tidak akan disentuh api neraka.”

Dengan demikian Nabi mengajarkan tentang keharusan menghargai pekerjaan orang lain, menghormati keringat para buruh, para pekerja keras yang berjuang untuk kehidupan keluarganya. Nabi juga berkata, “Bayarlah upah buruh sebelum kering keringatnya”. Seruan yang sarat dengan nilai sosial.

Ayatullah Khomeini, Bapak Revolusi Iran, sadar betul akan kekuatan para pekerja dan nilai spiritual di dalamnya. Maka pada sebuah pidato di awal gerakan perlawanannya pada rezim Shah Iran, dia berucap, “Jika hari itu (saat belajar) saya mencium tangan ulama, maka hari ini saya akan mencium tangan para pekerja. Demi Allah, berdosalah orang yang tidak mau protes”. Pidato pada 1963 itu mengakibatkannya dibuang ke Turki.

Ada dua pilihan yang sama-sama mulia, menjadi orang yang mencium tangan pekerja atau menjadi pekerja yang tangannya dicium Nabi. (Enton Supriyatna Sind)***

 

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: