Sabtu, 5 Oktober 2024

Tani Pekarangan, Inovasi Realistis di Masa Pandemi

Aktivitas tani pekarangan di Kampung Waas, Desa Mekarmanik, Kec. Cimenyan. Kab. Bandung. Foto: Istimewa

WAJAH Odin (47) pagi itu tampak berbinar. Ratusan bibit pohon kelor yang berada di samping rumahnya, sudah siap dikirim kepada pembeli. Itu berarti warga Kampung Cadasgantung, Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung tersebut, akan menerima imbalan dari hasil ketekunannya.

Odin adalah salah satu dari 72 warga penghuni 13 rumah di kampung itu, yang kehidupannya memprihatinkan. Kemiskinan dan keterbelakangan sosial mendera kehidupan mereka. Meskipun tempat tinggal mereka tidak terlalu jauh dari Jln.  A.H. Nasution betulan Sindanglaya Kota Bandung.

Dia tidak memiliki pekerjaan tetap. Kadang menjadi buruh tani, kadang juga  bekerja menambang batu. Dengan bekerja serabutan, penghasilan yang didapatnya tidak menentu. Odin tidak memiliki keahlian lain untuk memperbaiki taraf hidupnya. Kemudian menjalani aktivitas baru, menyemai bibit pohon kelor.

Kemampuannya itu diperoleh setelah bersentuhan dengan para relawan Odesa Indonesia. Odesa memberinya benih dari biji kelor, polybag dan ihwal budi daya tanaman. Odin adalah generasi pertama dalam program tani pekarangan yang digerakkan Odesa.

Dikatakan Odin, dalam dua bulan bibit kelor sudah terjual banyak. Setidaknya dia bisa mengantongi uang uang Rp 600.000. Sementara dari pengemasan pupuk kandang sederhana menghasilkan uang Rp 400.000. Jumlah tersebut sangat berarti bagi keluarga Odin.

Makin banyak

Kini pelaku tani pekarangan makin bertambah dengan beragam tanam. Tidak hanya kelor, tapi juga tanaman sayuran untuk kebutuhan sehari-hari. Kegiatan sepertri iti, membantu warga yang mengalami kesulitan pekerjaan di masa pandemi Covid-19. Di tengah kesulitan itu, ada sejumlah warga yang inovatif, tidak mau menyerah pada keadaan.

Irmawati (21 tahun) adalah salah satu contohnya. Warga Kampung Waas Desa Mekarmanik Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung ini, mengambil inisiatif ketika suaminya makin sulit mencari nafkah. Lima bulan lalu, Odesa menawarkan kepadanya untuk memulai usaha dengan memanfaatkan lahan di sekitar rumahnya.

“Saya manfaatkan lahan itu untuk menanam sayuran. Saya mendapatkan bantuan 100 polybag dan benih sayuran. Sekarang  sudah lebih dari 600 polybag di pekarangan saya . Setiap minggu selalu ada yang bisa dipanen,” kata Irma, Senin (30/11/2020).

Bersama 10 ibu rumah tangga lainnya di kampung tersebut, Irma memulai bertani di pekarangan pada Juli 2020 lalu. Apada awalnya, kaum ibu itu belum bisa menerima cara bertani model itu. Karena mereka terbiasa menjadi buruh tani di ladang luas. Tapi kemudian mereka bisa beradaptasi.

Banyak keuntungan yang diperoleh dengan bertani pekarangan. Dia dan kawan-kawannya bisa  menggarapnya pada waktu luang.  Tidak menyita waktu kerja sebaga buruh tani dan pekerjaan lainnya. Selain itu, hasil panen bisa diperoleh secara rutin karena jadwal tanam mudah diatur. Hal ini berbeda dengan tani di ladang yang biasanya menunggu musim hujan baru menanam dan panen massal.

Keuntungan ketiga, keluarga petani pekarangan tidak lagi perlu belanja sayuran. Biasanya, Irma dan ibu rumah tangga lainnya mengeluarkan uang membeli sayuran Rp 10.000 per hari. Sekarang tidak lagi. “Lumayan dalam sebulan bisa menghemat pengeluaran uang Rp 300.000,” tuturnya.

Paling realistis

Menurut pendamping ekonomi Yayasan Odesa Indonesia Basuki Suhardiman, tani pekarangan adalah inovasi yang paling realitis diterapkan pada keluarga petani yang memiliki lahan pekarangan. Sekalipun kegiatannya berskala kecil, tetapi bisa menjadi solusi memperbaiki sumberdaya manusia di perdesaan.

“Ekonomi yang efektif itu kalau lahir dari tradisi. Petani punya modal karena kebiasaan menanam di ladang. Hanya saja mereka akan terus kekurangan karena panen satu tahun hanya dua kali. Dengan kebiasaan baru tani pekarangan mereka bisa memanen secara rutin dengan durasi mingguan,” katanya.

Basuki yakin, model pertanian yang relevan dengan kehidupan pekerjaan para petani akan membentuk kebiasaan positif.  Hal ini bisa menjadi solusi mengatasi kemiskinan. Sebab akar dari kemiskinan itu sendiri disebabkan oleh akses ilmu dan pemanfaatan kesempatan. Ketika pendampingan menemukan cara yang realistis kemajuan pun bisa dicapai. (Enton Supriyatna Sind)***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: