PIPA paralon ukuran 2 inci dengan panjang sekitar 6 meter itu menjulur dari atas ke bawah. Ujungnya hampir menyentuh sisi kiri teras rumah Asep Dadang (30). Lalu berbelok menyusuri celah sempit rumah tersebut, melingkar ke belakang dan turun lurus, hingga berakhir di sebuah sungai kecil.
Pipa yang panjangnya lebih dari 25 meter itu, bukanlah saluran air bersih. Melainkan kanal pembuangan kotoran. Paralon itu milik tetangganya, yang berumah di tanah lebih tingggi persis di atas rumah Asep. Tidak berbeda, keluarga Asep juga melakukan hal yang sama untuk urusan pembuangan limbah harian manusia.
“Memang kebanyakan rumah di sini membuang kotorannya ke sungai lewat pipa paralon. Jarang yang punya ‘sepiteng’. Rasanya lebih praktis saja,” ujar pedagang sayur keliling warga RT 02 RW 14 Pondokbuahbatu Desa Mekarmanik Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung itu, Senin (9/11/2020).
‘Sepiteng’ adalah kata yang biasa diucapkan warga setempat untuk menyebut ‘septic tank’ atau tangki septik. Fasilitas itu berupa kolam kecil berbentuk kotak di bawah tanah, tempat pembuangan kotoran, tinja dan sejenisnya. Dibuat dengan bahan kedap air agar tidak menyerap ke dalam tanah. Keberadaannya berguna untuk menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan.
Di lingkungan tempat tinggal Asep Dadang, baru sekitar 4 rumah yang menggunakan tangki septik. Selebihnya menjadikan sungai yang mengalir di perkampungan itu sebagai lokasi favorit pembuangan kotoran. Kalau tidak, menggunakan sarana pembuangan alakadarnya. Toilet mereka kebanyakan bergaya “minimalis” alias segala minim.
“Tidak jarang kalau pipanya bocor, menimbulkan bau tidak sedap yang menyengat hidung. Seperti pipa pembuangan di depan rumah saya itu, pernah bocor juga. Kita tambal saja pakai karet,” kata ayah satu anak itu, sambil menunjuk bagian pipa yang dibalut karet hitam dari ban bekas.
Lebih praktis?
Menurut Enyi (35), pembuangan kotoran ke sungai dirasakannya lebih praktis. Menurut ibu rumahtangga tersebut, dengan menggunakan pipa tidak perlu membuat ‘sepiteng’ yang biayanya lebih mahal. “Kalau bikin ‘sepiteng’ kan harus beli semen, beli pasir, dan batu bata. Repot jadinya,” ujar Enyi, yang bersuamikan pekerja serabutan.
Benarkah memakai pipa lebih ptraktis dan murah dibanding tangki septik? “Tidak juga. Mahal atau tidak, relatif. Coba saja kita hitung paralon yang melintas di depan rumah Pak Asep itu. Panjangnya 25 meter, berarti perlun sekitar 7 lente. Satu lente (4 meter) pipa 2 inci, ambil harga yang Rp50 ribu, maka total Rp350 ribu,” ujar Abdul Hamid, relawan Odesa Indonesia.
Menurut Hamid, biaya sebesar itu bisa digunakan untuk membuat tangki septik sederhana untuk sebuah keluarga. Atau untuk berhemat tapi menfaatnya optimal, beberapa keluarga bisa urunan untuk membuat tangki septik yang memadai. Dengan cara seperti itu kesehatan sanitasinya lebih baik.
“Ini persoalan kebiasaan turun-temurun, di samping memang masalah ekonomi yang menghimpit kehidupan warga. Akan tetapi bukan berarti tidak ada jalan keluar. Pasti ada cara untuk mengatasinya. Karena itu perlu adanya pemimpin setempat untuk mengubah kondisi tersebut,” ujar Hamid.
Kehadiran dua jamban umum masing-masing di RT 02 dan RT 04, merupakan upaya untuk mengubah kebiasaan warga tersebut. Kedua jamban itu merupakan sumbangan dari para dermawan, yang mengamanahkan kepada Yayasan Odesa Indonesia untuk membangunnya. Ukurannya 3 x 6 meter, dua pintu, lengkap dengan kloset dan tangki septiknya. Biayanya berkisar antara Rp20 juta-Rp22 juta per unit.
Dua jamban umum tersebut, bisa digunakan sekitar 10 rumahtangga atau sedikitnya 30 jiwa. “Alhamdulillah dengan adanya jamban umum ini, saya dan sekeluarga akan memanfaatkannya dengan baik. Meskipun harus antre, ya tidak apa-apa. Nanti BAB-nya di sini saja. Begitu juga untuk kegiatan mencuci,” tutur Enyi, yang bersama suaminya memelihara sapi potong milik orang lain dengan sistem “paroan”.
Sejumlah warga dari luar kedua RT tersebut juga berharap di tempat mereka didirikan jamban umum. Kondisi sanitasinya tidak jauh berbeda. “Bukan kami tidak ingin hidup sehat. Tapi ya bagaimana ya, untuk kehidupan sehari-hari saja susah. Apalagi untuk membangun jamban umum,” ujar Romin (40), seorang petani penggarap. (Enton Supriyatna Sind)***