Selasa, 3 Desember 2024

Seabad Perlawanan Rakyat Cimareme (Bagian 1)

Pusara KH Hasan Arif di Pasir Astana Gabus, Desa Cimareme, Kecamatan Banyuresmi, Garut.

PULUHAN orang bersenjata bedil mengepung sebuah rumah di samping masjid.  Moncong senapan diarahkan ke bangunan yang pintu dan jendelanya tertutup rapat itu.  “Haji Hasan, ayo keluar!” teriak seseorang. Tidak ada jawaban. Hanya lantunan orang-orang berzikir yang terdengar jelas. Perintah itu ditriakan lagi, dan zikir makin keras.

Dengan pandangan cemas warga menunggu apa yang akan terjadi pada beberapa detik berikutnya. Lalu suara rentetan tembakan memecah suasana tegang di Kampung Cimareme, Garut itu.  Pelor menembus dinding kayu dan bilik bambu. Suara zikir dari dalam rumah berhenti seketika. Keadaan benar-benar mencekam.

Sejumlah Marsose  mendobrak pintu. Disambut tangis dan jeritan penghuni rumah. Delapan orang terkapar, yang salah satunya adalah Haji Hasan Arif Tubagus Alpani. Lelaki berusia sekitar 66  tahun itu meninggal dunia dengan sejumlah luka tembak di tubuhnya. Tujuh orang lainnya juga menemui ajal dengan cara yang sama.

Gugurnya Hasan Arif beserta pengikutnya seolah menjadi penutup dari gerakan perlawanan rakyat Cimareme secara terbuka, yang menolak aturan pembelian padi sewenang-wenang yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Peristiwa itu berbuntut dengan penangkapan puluhan warga. Sebagian diadili dan dijatuhi hukuman. Bahkan ada yang dibuang jauh ke luar Pulau Jawa.

Meskipun faktanya jelas dan terdokumentasikan dengan baik, namun terdapat perbedaan pendapat mengenai tanggal, bulan dan tahun kejadiannya. Seperti diungkapkan Sutrisno Kutoyo dalam “Haji Hasan Arif Riwayat Hidup dan Perjuangannya” (1984), terdapat empat versi  tentang waktu kejadian yang lebih dikenal dengan “Peristiwa Cimareme” tersebut.

Sumber Cimareme menyebutkan, kejadian itu berlangsung tanggal 9 Agustus 1918 (Jumat) dan 12 Agustus 1918 (Senin). Sedangkan sumber Belanda mengatakan, peristiwa itu terjadi tanggal 4 Juli 1919 (Jumat) dan 7 Juli 1919 (Senin). Jika membaca berita di sejumlah koran berbahasa Belanda terbitan tahun 1919 dan sesudahnya, ada kecenderungan peristiwa itu terjadi pada Juli 1919.

“Kami tetap menggunakan data yang selama ini dipakai warga Cimareme, yaitu tanggal 12 Agustus 1918. Tidak apa-apa kalau ada versi lain. Sebab yang penting peristiwanya benar-benar terjadi, tokoh-tokohnya juga nyata,” kilah Bahrul Alam (60), salah satu buyut Hasan Arif yang kini mengelola Yayasan Kyai Hasan Arif (YKHA), beberapa waktu lalu.

Tanggal itu pula yang tertera pada nisan makam Hasan Arif dan para syuhada lainnyadi kompleks pemakaman Pasir Astana Gabus, sekitar 1 km di selatan Kampung Cimareme. Kompleks  pemakaman  berukuran 8 x 8 meter itu, dikelilingi tembok bercat hijau yang mulai lusuh. Sedangkan identitas pemakaman di atas gerbang masuk, sudah tidak terbaca lagi. “ Pada bulan Maulud banyak peziarah dari berbagai tempat datang ke sini,” ujar Abah Iin (60) juru kunci pemakaman.

Gerakan bawah tanah

Peristiwa pemberontakan Hasan Arif dan pengikutnya sangat jarang disinggung dalam pengajaran sejarah, khususnya di Jawa Barat. Orang-orang hanya akan mengetahul nama itu jika berkesempatan mengunjungi Museum Mandala Wangsit Siliwangi di Jalan Lembong Kota Bandung. Di museum tersebut terdapat beduk, jubah putih dan beberapa senjata tajam, yang berkaitan dengan tokoh tersebut. Namun selebihnya, orang tidak banyak tahu akan perjuangan gigih Hasan Arif.

Cimareme berjarak sekitar 15 km dari pusat kota Garut atau terletak pada 30 derajat arah timur laut dari pusat kota. Sekarang termasuk wilayah Desa Sukasari, Kecamatan Banyuresmi. Dari arah Bandung, untuk menuju Cimareme bisa belok kiri di betulan Leles.  Pada tahun 1918, di kawasan itu ada enam buah masjid yang tersebar di tiga kampung berdekatan yaitu Cimareme, Babakan dan Cikadongdong.

Saat itu masjid di Cimareme menjadi pusat kegiatan warga, semacam pesantren, dan Hasan Arif tokoh sentralnya. Dia menanamkan  ajaran Islam yang dikaitkan dengan perjuangan menentang penjajahan.di tokoh sentral di tengah masyarakat. Selain mengajarkan ilmu-ilmu pokok agama,  Hasan Arif juga memberi perhatian khusus pada kegiatan olahraga.  Di Cimareme terdapat perkumpulan sepak bola bernama “Perkumpulan Voetbal Merdeka Tani’, dan perkumpulan ilmu bela din pencak silat “Gerak Cepat”.

Tokoh yang lahir tahun 1853 itu mendirikan pula  gerakan bawah tanah bernama Cimawa Rame pada tanggal 14 Agustus 1914. Organisasi ini bersifat rahasia, dan terdiri dan tokoh-tokoh teras Cimareme. Di antaranya, Atmaka pemegang urusan siasat (politik), Adikarta alias Haji Manan pemegang urusan kesejahteraan, Adinata alias Haji Manap mengurus soal mantera, Warga alias Haji Hasanuddin mengurus masalah kemanusiaan, H. Syamsuri urusan keagamaan, dan lyiguna urusan perhubungan.

Dari sisi ekonomi, Hasan Arif adalah petani yang cukup berada. Lebih dari dua puluh tahun lampau,  “PR” berbincang dengan salah seorang cucu Hasan Arif,  Maolani. Meski waktu itu usianya sudah mendekati 90 tahun, namun masih tampak bugar dan daya ingatnya kuat. Pria ini adalah ayah Bahrul Alam, ketua YKHA yang didirikan Maolani pada tahun 1978. Hasan Arif  memiliki 12 anak. Saat kejadian, Maolani berusia sekitar 8 tahun.

“Kakek saya terbilang orang berkecukupan. Untuk kebutuhan hidup, memiliki 10 bau sawah. Mungkin karena ekonomi  cukup stabil dan juga ketokohannya, banyak warga sekitar  yang kerap datang  ke rumah kakek meminta bantuan makanan,” tutur Maolani. Dengan luas sepuluh bau, sawah Hasan Arif bisa menghasilkan sekitar 250 pikul atau sekitar 154 kuintal setiap kali panen.  Satu bau sama dengan 700 m2 atau 50 tumbak.

Ekonomi memburuk

Pecahnya Perang Dunia I (1914-1918), telah menambah keparahan kondisi ekonomi dunia. Buruknya situasi ekonomi, tidak saja dirasakan langsung negana-negara pelaku perang, tetapi juga negara lain seperti Indonesia sebagai daerah koloni Belanda. Sejumlah referensi menyebutkan, saat itu hasil bahan mentah dari Indonesia menumpuk dan tidak dapat diekspor. Kehidupan rakyat semakin sengsara. Sebab beras impor tidak juga datang. Seperti umumnya daerah lain, Cimareme pun mengalami penderitaan serupa.

Koran Oetoesan Hindia edisi 17-18 Maret 1919 melaporkan, sebagai upaya mengatasi kekurangan pangan, pada 17 Maret 1919 diadakan pertemuan untuk membahas masalah pangan. Kemudian diputuskan, untuk mengatasi kekurangan beras dan mencegah kemungkinan bahaya kelaparan, pemerintah akan melakukan pembelian padi dari petani.

Kewajiban menjual padi kepada pemerintah didasarkan luas sawah yang dimiliki petani. Jumlah padi yang harus dijual, tidak mempertimbangkan kebutuhan konsumsi setiap keluarga petani pemilik sawah. Peraturan itu menyebutkan,  setiap satu bau sawah maka padi yang harus dijual sebanyak empat pikul (satu pikul=62,5 kg).  Harganya ditentukan pemerintah.

Saat itu, seperti ditulis S. Achmad Somara dalam skripsinya yang membahas Peristiwa Cimareme (1969), pada umumnya petani memiliki sawah kurang dari satu bau. Kebanyakan dari mereka hanya mempunyai 300 tumbak, yang hanya cukup untuk biaya pengolahan dan keubutuhan keluarga mereka dalam satu musim. Jual paksa ini sangat memberatkan petani, tapi mereka tidak berdaya untuk melawan. (Enton Supriyatna Sind)***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: