JAKARTA.- Pandemi Covid-19 memaksa semua pihak untuk hidup dalam kewajaran baru. Peristiwa yang terjadi dalam skala global ini, menggiring semua negara bangsa untuk melakukan adaptasi. Ketahanan sebuah bangsa kini ditandai oleh kemampuannya untuk melindungi segenap warga dan tanah airnya, sekaligus merawat solidaritas antar sesama.
Inilah momentum terbaik untuk merapatkan jiwa bangsa, menguatkan jati negara. Sementara itu tahun 2020 akan dikenang sebagai era pembatas sebuah generasi. Momen sejarah yang memisahkan dua tatanan masyarakat sebelum dan sesudahnya, yakni gaya hidup, pola kerja, jarak sosial, mentalitas dan pandangan dunia.
Beberapa pokok pikiran tersebut mengemuka dalam refleksi akhir tahun yang disampaikan pada Wacana 17an : Satu Tujuan Nasional, yang diselenggarakan Teras Pancasila, di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta, Kamis (17/12/2020).
Ketua Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA), KH Maman Imanulhaq, pada kesempatan tersebut mengatakan, pandemi telah mengubah cara bermasyarakat dengan membuat jarak sosial. “Namun justru menjadi kesempatan terbaik untuk merapatkan ikatan batin, membangun solidaritas sosial. Merajut kembali tenunan berbangsa,” katanya.
Hadirnya vaksin Covid-19, kata pria yang akrab disapa Kang Maman ini, bukanlah akhir dari perjalanan, namun justru awal dari kebangkitan baru. Jika vaksin digunakan untuk melawan virus akal-badan, maka revolusi jiwa merupakan vaksin untuk melawan virus akal-budi. Normalitas baru, memerlukan moralitas baru.
Kerja budaya
Dalam pandangan Zastrow Ngatawi, merapatkan jiwa bangsa, menguatkan jati negara merupakan sebuah kerja budaya, yakni upaya tanpa henti dan terus menerus membangun ke Indonesiaan.
Menurut Ketua Pusat Studi Budaya Makara Universitas Indonesia ini, kerja kebudayaan adalah kerja tak bertepi. Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Tugasnya masyarakat-terbayang (imagined community) sebagai alas sekaligus alasan kita berbangsa dan bernegara. Era setelah pandemi memaksa untuk merangkai ulang masyarakat-terbayang yang akan dibentuk.
“Kewajaran baru memerlukan ajaran dan tata ajar yang baru. Karena itu, kita membutuhkan kemampuan belajar sosial secara terus menerus. Itulah cara kerja budaya, memperkaya daya budi, membangunkan jiwa,” kata Zastrow Ngatawi.
Senada dengan itu, Mujib Hermani, Ketua Federasi Pekerja Seni Indonesia, menyoroti tentang budaya kerja. Budaya kerja yang diperlukan adalah adaptasi kreatif yang membutuhkan kesegaran dan inovasi, untuk menangani tantangan yang ada. Budaya kerja yang menjaga keseimbangan antara kemandirian, swadaya dan gotong royong.
Sedangkan Irene Camelyn Sinaga, Direktur Pembudayaan Pancasila BPIP, menegaskan, Pancasila merupakan platform sekaligus bintang penuntun mencapai tujuan negara bangsa.
“Yang sedang dikembangkan adalah inovasi pembudayaan Pancasila yang sejalan dengan bahasa generasi mileneal, yakni mereka yang menjadi jangkar masa depan. Semangat dan etika gotong royong dihidupkan dalam ekonomi berbagi, solidaritas sosial dan demokrasi partisipatoris,” ungkapnya. (Sup)***