BANDUNG.- Meskipun cara pembeliannya mudah, petani mengeluhkan sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi sesuai kebutuhan. Untuk mengatasinya, mereka akhirnya membeli juga pupuk non-subsidi yang harganya dua kali lipat dari pupuk subsidi. Kalau tidak begitu, kegiatan pertanian mereka akan terhambat.
“Misalnya saya butuh 4 karung pupuk bersubsidi, tapi yang bisa dibeli hanya 1 atau 2 karung. Sebab stoknya suma segitu. Ya akhirnya saya beli yang non-subsidi juga. Padahal, maksudnya pengadaan pupuk bersubsidi kan, untuk membantu petani supaya biaya pupuknya murah,” ujar Didin (45) seorang petani di kawasan Cimenyan Kabupaten Bandung, yang sedang bersiap menanam bawan merah, Jumat (4/12/2020).
Sebagai misal, di kawasan Cimenyan harga satu karung (50 kg) pupuk ZA bersubsidi Rp 95 ribu, maka harga pupuk non-subsidi sejenis itu bisa bisa dua kali lipat harga subsidi. Para petani mengaku berat mengeluarkan biaya sebesar itu, meskipun tak jarang pembayaran dilakukan pada saat panen.
“Hasil panen juga belum tentu sesuai harapan. Karena harga seringkali tidak menentu. Saat menanam, harga sayuran lagi bagus. Tiga bulan kemudian ketika dipanen, harga anjlok. Itu sering. Ya hasil panen yang tidak besar itu dibagi-bagi, buat sehari-hari dan bayar utang pupuk,” katanya.
Hal yang samam diungkapkan Rusman (50). Dia berharap, kemudahan pembelian pupuk subsidi yang bisa menggunakan surat, tanpa harus menunggu adanya Kartu Tani, juga diikuti dengan ketersediaan barangnya. “Karena kalau mudah membeli tapi tidak ada barangnya, ya sama saja dengan bohon,” ujarnya.
Tidak maksimal
Kondisi itu diakui Ujang Rahmat, pemilik toko pupuk eceran Toko Hasil Bumi di Cikawari Desa Mekarmanik Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. “Pupuk datangnya tidak bersamaan. Banyaknya juga tidak tentu. Tidak sesuai dengan jumlah petani yang terdaftar dalam sistem elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK).
Menurut Ujang, selama ini dia melayani lebih dari 100 petani dalam urusan pupuk. Dengan keterbatasan persediaan pupuk, maka dia harus membagi-bagi jatah supaya para petani mendapatkannya. Meskipun dia tahun, mereka kecewa karena tidak mendapatkan pupuk sesuai harapan.
“Ya terpaksa saya bagi-bagi saja. Yang penting mereka kebagian semua. Kalau tidak begitu, nanti dianggap kami ini pilih kasih. Padahal memang ketersediaan pupuknya begitu. Keadaan seperti ini mungkin sudah berlangsung sejak bulan Juni lalu,” katanya.
Bagi pengecer seperti dirinya yang berlokasi di pelosok, menjual pupuk dengan harga lebih mahal Rp 5.000 dari harga standar, misalnya, tidak berarti apa-apa. Karena biaya untuk mengambil dan mengirimnya, memakan biaya lumayan.
Diungkapkannya, sering juga ada petani yang siap membayar pembelian pupuk subsidi dalam jumlah banyak sesuai kebutuhanya secara kontan. Namun Ujang Rahmat menolaknya, sebab jika itu dikabulkan maka petani lain tidak kebagian. Padahal kalau pertimbangannya keuntungan, dia bisa dapat untung banyak.
Kartu Tani
Seperti diketahui, pemerintah memastikan petani tetap bisa membeli pupuk bersubsidi dengan mudah meskipun belum memiliki Kartu Tani asalkan petani tersebut sudah terdaftar dalam sistem e-RDKK. Petani cukup memperlhatkan surat yang berisi nama petani, tanda tagan ketua kelompok dan UPT dari Dinas Petanian setempat.
Sebelumnya ada kebijakan petani harus memiliki Kartu Tani untuk mendapatkan pupuk bersubsidi. Ternyata hal itu menyulitkan banyak petani, karena di antara mereka banyak yang belum punya kartu tersebut. Sosialisasi yang tidak maksimal dari instansi terkait, mengakibatkan mereka tidak tahu aturan tersebut.
“Dari sekiar 100 petani yang biasa kami layani untuk kebutuhan pupuk, baru sekitar 50% yang punya Kartu Tani. Sekarang masih bisa pakai surat keterangan. Tapi katanya nanti pada 2021 harus sudah menggunakan kartu itu. Bagi kami sih siap saja, asal semuanya sudah memilikinya. Juga asal ketersediaan pupuknya sesuai dengan jumlah petani yang membutuhkan,” ujar Ujang Rahmat. (Pri)***