Sabtu, 20 April 2024

Cadas Pangeran: 5.000 Nyawa dan Upah Beras 1 Pon

Jalan Cadas Pangeran jalur Daendels. Foto: ESS

HERMAN Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808-1818), hatinya benar-benar masygul. Penyebabnya, proyek pembangunan jalan di kawasan Kabupaten Sumedang belum juga selesai seuai jadwal. Padahal jalan tersebut merupakan bagian dari proyek ambisiusnya, yakni rentangan jalan raya pos dari Anyer (Banten) hingga Panarukan (Jawa Timur) sepanjang 1.044 kilometer.

Di lokasi yang kini masuk Desa Ciherang, Kec. Sumedang Selatan itu, pembangunan jalan memang sulit, karena harus melalu bukit batu yang keras dan terjal dengan pepohonan besar di sekitarnya. Mau tidak mau bukit itu harus dibobok dengan alat seadanya. Sedangkan perkakas yang dimiliki warga Sumedang saat itu masih sederhana. Paling banter hanya martil, kapak, cangkul, atau sekop.

Namun Daendels yang dikenal gampang murka itu, tidak mau peduli. Dia hanya menginginkan, proyek jalan itu harus selesai. Kemungkinan paling pahit, memang sudah disadari rakyat Sumedang yang terlibat proyek dan Bupati Pangeran Kusumadinata IX yang dikenal dengan panggilan Pangeran Kornel (1791-1828).

Karena itu, ketika Daendels datang untuk mengontrol, Pangeran Kornel sudah menunggu. Tidak seperti layaknya seorang bupati menyambut penguasa tertinggi di negara jajahan, Pangeran Kornel menerima uluran tangan Daendels dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya memegang keris Nagasasra yang terselip di pinggang kirinya.  Dia menuturkan masalah yang dialami  rakyatnya dalam proyek itu.

Sang Gubernur Jenderal hanya terpaku, hilang keberangasannya. Kemudian dia memerintahkan pasukan zeni tempura untuk membobol bukit batu itu dengan bahan peledak. Akhirnya pembobokan itu selesai pada 12 Maret 1812 atau memakan waktu 3,5 bulan. Untuk mengenang kejadian itu, Pemkab Sumedang mendirikan patung yang mengambil adegan pertemuan dua tokoh tersebut.

Sekitar 100 tahun kemudian, pada 1908 dibangun jalan baru di bawah bukit sebelah selatan pada masa Bupati Pengeran Aria Suria Atmaja.  Jalur lama itu kini sepi, jarang ada yang menggunakannya. Kecuali beberapa kendaraan kecil atau sepeda motor yang melaluinya sekadar untuk bersantai. Jalan baru beberapa kali dilanda longsor, antara lain tahun 1995 dan 2000.

Ribuan nyawa

Dalam buku-buku sejarah mainstream, tidak pernah dikabarkan tentang jumlah korban jiwa dalam pembuatan jakan raya pos semasa Daendels itu. Hanya sering diulas bahwa proyek itu dilakukan dengan cara kerja paksa dan memakan banyak korban jiwa. Beruntung sastrawan Pramoedya Anan Toer memberi gambaran lebih jelas tenyang pembangunan jalan tersebut.

Dalam buku Jalan Raya Pos, Pramoedya mengutip laporan seorang tentara Inggris bernama Mayor William Thorn pada 1815. Disebutkan dalam laporan itu, korban tewas dalam proses prembangunan jalan raya pos diperkirakan mencapai 12.000 orang. Sedangkan di Cadas Sumedang sendiri korban tewas berjumlah 5.000 orang.

Menurut Pram, angka yang diberikan begitu bulatnya, telah menunjukkan tidak rincinya laporan, hanya taksiran. Mungkin kurang, mungkin lebih. “Setidak-tidaknya ini adalah genosida tidak langsung demi pembangunan, demi kelangsungan penjajahan dan kebesaran, kekayaan dan kemajuan Eropa,” ungkapnya.

Lalu Pram memaparkan Genosida tidak langsung lainnya yang dilakukan penjajah Belanda. Misalnya kebijakan tanam paksa yang juga menimbulkan kematian massal.  Genosida bisa diartikan sebuah tindakan kekerasan yang dilakukan kepada kelompok masyarakat tertentu dengan tujuan untuk membasmi keberadaann kelompok itu.

Untuk membangun ruas jalan dari Anyer hingga Karangsembung (Cirebon), menembus hutan belantara dan gunung-gunung yang tinggi, dikerahkan 11.000 tenaga kerja paksa. Pada pembuatan jalan menembus Megamendung (Bogor) dilaporkan ada 500 pekerja pribumi yang tewas. Jumlah itu kemungkinan sengaja dikecilkan.

Menurut laporan, kata Pram,  para pekerja memang mendapatkan jatah beras dan garam. Khusus untuk pembuatan jalan Cianjur-Sumedang diberikan jatah untuk setiap pekerja sebanyak 1,25 pon beras (1 pon 0,454 kg) setiap hari dan 5 pon garam setiap bulan. Sebelum disediakan peralatan, mereka harus bawa peralatan sendiri.

Sedangkan biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk membangun jalan raya pos di ruas Batavia-Priangan, jumlahnya mencapai 30.000 ringgit perak dan sejumlah itu dalam bentuk kertas kredit. “Itu menurut  Daendels sendiri,” tulis Pramudya.

Lalu berapa nilai uang sebanyak itu pada saat itu? Perbandingannya dapat dilihat dari gaji Presiden Dewan Hindia yang ditentukan sebesar 25.000 ringgit setahun. Dalam jangka setahun, proyek jalan raya pos itu dituntaskan. Sebuah pekerjaan luar biasa pada masa itu. (Enton Supriyatna Sind)***

 

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: