Kamis, 28 Maret 2024

Penangkapan Menteri KP Edhy Prabowo dan Ekspor Benur

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Edhy Prabowo, pda Rabu (25/11/2020) dini hari sekitar pukul 01.23 WIB di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng. Dia ditangkap bersama sejumlah, termasuk istrinya.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron membenarkan hal itu. Menurutnya,  Edhy ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta bersama sejumlah pihak dari Kementerian Kelautan dan Perikanan serta anggota keluarganya. “Tadi pagi ditangkapny sekitar pukul 01.23 di Bandara Soekarno-Hatta. Ada beberapa dari KKP dan keluarga yang bersangkutan,” ujar Ghufron.

Penangkapan terhadap Edhy Prabowo dalam kaitan ekspor benur, mengingatkan kembali pada kebijakannya yang “keukeuh” ingin mengekspor benih lobster itu di awal jabatannya, begitu menggantikan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri KKP. Banyak pihak tidak setuju dengan gagasan untuk membuka krans ekspor hewan laut berharga mahal itu.

Menjelang akhir tahun 2019, perihal lobster menjadi topik perbincangan yang hangat. Media massa dan media sosial diramaikan tentang satwa laut tersebut. Musababnya, Menteri KP Edhy Prabowo berencana untuk merevisi aturan larangan penangkapan dan ekspor benih lobster (benur).

Dengan demikian, keran penjualan benur ke luar negeri akan dibuka. Sejumlah aturan akan dibuat, sehingga  menurunkan nilai jual dari ekspor ilegal yang selama ini berlangsung. Dalam pandangan Edhy Prabowo, dengan mengekspor benih lobster secara terstruktur, justru akan meningkatkan nilai tambah masyarakat yang hidupnya bergantung pada penjualan benur.

Menjaga ekosistem

Saat Susi Pudjiastuti menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan, terbit Peraturan Menteri (Permen) Nomor 56 Tahun 2016, tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia. Peraturan tersebut dibuat dalam rangka menjaga keberlangsungan dan keberlanjutan ekosistem dan sumberdaya perikanan khususnya kepiting, lobster dan rajungan.

Peraturan itu tidak menutup sama sekali transaksi lobster. Disyaratkan, lobster boleh diperdagangkan asal beratnya di atas 200 gram. Karena dengan lobster seberat itu, setidaknya  sudah pernah bertelur sekali. Persyaratan lainnya adalah  lobster yang diperdagangkan tidak sedang bertelur.

Larangan penangkapan dan ekspor benih lobster diterapkan untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi, melalui nilai ekspor lobster dewasa yang harganya jauh lebih tinggi. Selain harga jualnya lebih murah, penangkapan benur secara besar-besaran akan membuat kerusakan lingkungan laut. Pelaku penjualan benur terancam hukuman penjara paling lama 10 tahun, serta denda paling paling banyak Rp 5 miliar.

Praktik penjualan benur dari Indonesia telah menguntungkan petambak di negara tujuan seperti Vietnam. Mereka mengekspor lobster dewasa ke berbagai negara. Bahkan kini Vietnam menjadi salah satu eksportir lobster terbesar di dunia. Pada tahun 2015 volume ekspor lobster Vietnam di atas 3.000 ton per tahun. Sedangkan Indonesia hanya  mengekspor sekitar 300-400 ton per tahun.

Satwa yang masuk dalam Filum Arthropoda ini adalah komoditas berharga tinggi jika diekspor dalam ukuran siap panen, bukan diekspor saat masih menjadi bibit lobster. Indonesia memiliki berbagai jenis lobster dengan harga jual tinggi. Lobster mutiara adalah lobster paling lezat dan paling  mahal. Dengan berat 1,4 kilogram, jenis ini harganya bisa mencapai Rp 5 juta per kilogram.

Benur. Foto: minapoli.com

Lain kebijakan

Lain menteri lain kebijakan. Begitulah seringkali yang terjadi di negeri ini. Edhy Prabowo tidak mundur dengan rencananya, meskipun ditentang banyak pihak. Maka silang pendapat pun berlangsung antara Susi Pujiastuti dan Edhy Prabowo.

Argumen yang dikemukakan Susi tampaknya lebih masuk akal dan visioner. Setidaknya ada dua hal penting yang disampaikannya, yaitu tentang terjaganya lingkungan hidup di lautan dan kesejahteraan nelayan Indonesia. Dua hal yang memang semestinya menjadi bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan menyangkut kelautan dan perikanan.

Larangan menjual benur juga berarti mengedukasi agar nelayan kita lebih sabar dan tekun untuk mendapatkan hasil yang jauh lebih besar. Penyelundupan benih lobster pun menjadi cerita hitam dalam bisinis ini. Mafia bermain untuk memenuhi kebutuhunan pembeli luar negeri.

Berdasarkan data dari KP, dalam rentang waktu 2015 hingga pertengahan 2019, pemerintah telah menggagalkan sebanyak 263 kasus penyelundupan benih lobster.  Dari kasus sebanyak itu, jumlah benih lobster yang diselamatkan mencapai  9.825.677 ekor atau diperkirakan senilai  Rp 1,37 triliun.

Melegalkan penjualan benur dengan alasan untuk meniadakan penyelundupan, adalah logika yang tidak tepat. Justru seharusnya pemerintah membantu petambak untuk melakukan pembesaran lobster secara optimal. Indonesia tidak kekurangan orang-orang yang memiliki kemampuan dalam teknologi perikanan.

Seperti dikatakan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi, ekspor benih lobster memang mendatangkan keuntungan ekonomi. Namun, sifatnya hanya jangka pendek. Ketika anak lobster itu diekspor ke Vietnam, negara itu mendapat peluang untuk budi daya dan rekayasa genetika sehingga menghasilkan bibit unggul lobster. Sedangkan Indonesia malah jadi pengimpor lobster. (Enton Supriyatna Sind)***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: