Selasa, 19 Maret 2024

Wisata Sejarah di “Jalan Neraka”

Menhir setinggi orang dewasa. Foto: ESS

PERTAMA kali mencoba jalur Tanjakan Jahim pada tahun 2001. Jalannya masih berbatu, kubangan di sana-sini. Meskipun perjalanan dilakukan siang hari, tetap saja ada rasa khawatir. Karena suasananya sepi. Jarang ada kendaraan lain sebagai kawan seperjalanan. Sejumlah “preman kampung” sesekali muncul, berdiri di tengah jalan meminta sumbangan uang keamanan.

Tidak begitu jelas, mengapa jalur ini disebut Tanjakan Jahim. Namun beberapa warga menduga, nama Jahim diambil dari nama neraka  –neraka Jahim-. Istilah itu dilekatkan sehubungan dengan kondisi jalan tersebut di masa lalu yang memang tidak nyaman. “Yah kondisina jiga naraka jahim, kitu meureun,” ujar Somad (48) warga setempat.

Cerita lain menyebutkan, pada masa merebaknya aksi gerombolan pasca-kemerdekaan, disusul dengan sepak terjang kaum radikal tahun 1960-an, daerah tersebut sering dijadikan tempat pembuangan mayat. Demikian pula pada tahun 1980-an ketika merebak operasi petrus (penembakan misterius), banyak mayat ditemukan di jalur ini.

Kisah seram itu kemudian dilengkapi dengan mitos tentang bangsa lelembut yang sering menampakkan diri.  “Dulu mah disebut juga tempat ‘panodongan’, sebab banyak penjahat menodong orang yang lewat di situ. Mungkin kengerian-kengerian itu yang membuatnya disebut Jahim,” kata Somad lagi.

Tapi kini jalur yang merentang dalam wilayah Kec. Cikijing (Majalengka) dan Kec. Sukamantri (Ciamis) itu menjadi salah satu kawasan favorit, terutama pada masa mudik dan balik Lebaran.  Jalannya licin mulus, kombinasi beton dan aspal. Terdapat pula beberapa tempat yang layak ditengok, sambil menikmati udara segar di bawah rindangnya pohon-pohon pinus. Misalnya Situs Budaya Batu Panjang dan Curug Cekong.

Mirip Gunung Padang

Lokasi situs tidak sulit dijangkau. Kita akan menemukannya begitu menuruni puncak Jahim ke arah Ciamis,  sekitar 200 meter kemudian, di sebelah kanan jalan. Tepatnya di lereng Gunung Madati, Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis. Untuk mencapainya, harus  melewati  jalan yang agak menanjak.

Disebut batu panjang, karena situs ini bermaterikan batu-batu berukuran panjang, ada yang tergelatak, menumpuk dan berdiri tegak. Posisi dan bentuknya mirip dengan bebatuan yang ada di Situs Gunung Padang Cianjur. Banyak yang sudah berlumut. Sebagian warga ada yang menamakannya Situs Batu Kendang. Karena ada sebongkah batu panjang yang disangga dua batu kecil, sehingga menyerupai kendang (gendang).

Jika menilik kelaziman situs serupa di tempat lain, maka kemungkinan besar ratusan batu yang berada di atas lahan sekitar 200 meter persegi tersebut, merupakan peninggalan leluhur yang berkaitan dengan nilai-nilai relijius masa itu. Batu-batu sengaja dibentuk sedemikian rupa dan berbeda dengan batu-batu lain yang ada di sekitarnya. Ada yang berupa menhir dan juga ada yang menyerupai dolmen.

Menhir adalah batu tunggal, biasanya berukuran besar, yang ditatah seperlunya sehingga berbentuk tugu dan biasanya diletakkan berdiri tegak di atas tanah. Sementara dolmen merupakan meja batu tempat meletakkan sesaji, yang dipersembahkan untuk roh nenek moyang. Di bawah dolmen biasanya sering ditemukan kubur batu atau sarkofagus. Ketiganya merupakan bagian dari ciri utama budaya megalitikum.

Situs itu berlokasi di bukit yang berluas total sekitar 5.000 m2, berada di bawah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH). Semoga saja benda-benda warisan budaya leluhur tersebut tetap terjaga dengan baik. Jangan sampai batu-batu berharga itu hilang diambil tangan jahil. (Enton Supriyatna Sind)***

 

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: