Selasa, 19 Maret 2024

Teroris yang Beraksi di Subuh Hari

SEGERA  setelah Perang Shiffin (37 H) yang melibatkan pihak Imam Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah, muncul kelompok yang tidak puas terhadap kedua kubu tersebut. Mereka yang kemudian dikenal dengan sebutan Khawarij itu, menganggap ada tiga orang yang bertanggung jawab atas segala keburukan yaitu Imam Ali, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash.

Khawarij menghukumi ketiganya sebagai kafir dan karenanya harus dibunuh. Maka bersekutulah tiga orang Kahwarij untuk membunuh tiga tokoh tersebut. Dengan keyakinan perbuatannya merupakan jalan suci dan diridhai Allah untuk menyelamatkan umat, mereka berbagi tugas dan merancang siasat.

Mereka bertemu di depan Kabah dan berumpah di hadapan rumah suci milik Allah itu. Barak bin Abdullah akan membunuh Amr bin Ash (orang kepercayaan Muawiyah bin Abi Sufyan), Abdullah bin Usman akan menghabisi Muawiyah, dan Abdurrahman bin Muljam bertekad mengakhiri hidup Imam Ali. Eksekusi akan serempak dilakukan pada subuh hari tanggal 19 Ramadhan 40 Hijriyah (661 Masehi).

Barak berkuda menuju Mesir. Dia masuk ke sebuah mesjid yang biasa didatangi Amr bin Ash. Pedangnya terhunus dan menebas seorang pria di shaf depan. Ternyata dia salah sasaran. Orang yang dibunuhnya bukanlah Amr melainkan Qadhi Kharijah bin Tamim. Barak ditangkap dan dibunuh.

Abdullah bin Usman tiba di Syam (Suriah) dan mengincar Muawiyah. Namun karena tidak cukup nyali dan tidak begitu mahir memainkan pedang, pukulannya meleset dan mengenai paha Muawiyah. Abdullah diciduk dan dihukum penjara.

Pedang beracun

Sementara itu Ibnu Muljam sudah berada di Kufah (Irak). Dia lebih dahulu berada di mesjid tempat biasa Imam Ali salat. Ketika Imam Ali bangun dari sujud pada rakaat pertama salat nafilah subuh, Ibnu Muljam menghantamkan pedangnya ke kepala khalifah keempat tersebut.

Saking kerasnya, hantaman itu meretakkan tempat sujud beliau. Pedang yang sudah dilumuri racun itu telah melumpuhkan sebagian saraf Imam Ali. Dua hari kemudian, tanggal 21 Ramadhan, menantu Rasulullah tersebut menemui kesyahidannya.

Teror yang terjadi tahun 661 Masehi itu, semula berlatar belakang politik kemudian bergeser pada keyakinan teologis. Salah satu sikap kaum Khawarij adalah, menganggap dirinya paling benar dan orang di luar mereka sesat, darahnya halal untuk ditumpahkan.

Dan hari ini kita melihat banyak Ibnu Muljam generasi baru. Membuat kekacauan di mana-mana. Menganggap kebenaran ada di tangan mereka semata. Mengafirkan sesama Muslim dan membunuhnya tanpa beban, demi sorga yang mereka yakini. Tidak ada ruang bagi akal sehat untuk bicara. (Enton Supriyatna Sind)***

 

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: