Sabtu, 5 Oktober 2024

Pemekaran Daerah dan Kesejahteraan

Peta Jawa Barat

ASPIRASI masyarakat untuk pembentukan daerah otonomi baru (DOB) atau pemekaran wilayah terus menggeliat. Tiga dari enam daerah di Jabar sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas), yaitu Bogor Barat (di Kabupaten Bogor), Garut Selatan (di Kab.  Garut) dan Sukabumi Utara (Kab. Sukabumi). Sedangkan tiga lainnya, selesai dikaji  yaitu usulan dari Indramayu, Cianjur, dan Kab. Bekasi.

Jumlah tersebut tentu saja masih jauh dari ideal bagi Pemprov Jabar.  Berdasarkan kajian tim ahli, dalam sepuluh  tahun ke depan, Jabar seharusnya memiliki 40 kabupaten/kota. Saat ini, provinsi yang berpenduduk  48 juta jiwa ini baru memiliki 27 kabupaten/kota. Bandingkan dengan Jawa Timur, yang berpenduduk  40 juta jiwa sudah memiliki 38 kabupaten/kota.

Inilah yang menurut Gubernur Ridwan Kamil tidak adil.  Sebab bantuan dana alokasi umum (DAU) dari pusat berbasis jumlah daerah di sebuah provinsi, bukan jumlah penduduk. Jika dipukul rata, maka seorang warga Jatim dibiayai pusat sebesar Rp 1 juta, sedangkan seorang warga Jabar hanya Rp  600 ribu.

Sebagai contoh, pada pada tahun anggaran 2017, jumlah penerimaan DAU Provinsi Jabar dan 27 sebesar Rp 34,3 triliun. Sedangkan Jatim dengan 38 kabupaten/kota menerima Rp 37,1 triliun. Terjadi selisih sekitar Rp 2,8 triliun per tahun.

Ketua Forum Komunikasi Daerah Calon Daerah Otonomi Baru (Forkoda CDOB) Jabar, Gunawan Undang, pernah melakukan kajian pada tahun 2018. Menurutnya, berdasarkan proyeksi jumlah penduduk di masing-masing kabupaten/kota (2020–2030) dan kondisi objektif jarak rentang kendali, maka di Jawa Barat idealnya terdapat 52 kabupaten/kota.

Ketua Presidium Garut Selatan itu menerangkan, berdasarkan data DPD RI (2017) dan hasil survey yang dilakukan Forkoda Jabar (2018), terdapat 20 usulan dibentuknya CDOB. Dari jumlah itu, 15 di antaranya berbentuk kabupaten yakni Garut Selatan, Sukabumi Utara, Bogor Barat, Tasikmalaya Selatan, Bekasi Utara, Jampang, Bandung Timur, Cianjur Selatan, Bogor Timur, Bogor Selatan, Garut Utara, Karawang Timur, Rengasdengklok, Cirebon Timur dan  Indramayu Barat. Lima lainnya  berbentuk kota yaitu Cipanas, Kertajati Cikarang, Cikampek dan Lembang.

Penumpukan kekuasaan

The Liang Gie (2003), mengemukakan beberapa alasan mengapa kebijakan pemekaran wilayah harus diberlakukan. Dari sudut politik, pembentukan suatu daerah/wilayah yang baru dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang bisa menimbulkan tirani.

Selain itu, sebagai tindakan pendemokrasian, menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri mempergunakan hak-hak demokrasi. Dari sudut teknik organisasi pemekaran dilakukan untuk mencapai pemerintahan yang efisien. Dari sudut pembangunan ekonomi, agar pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan.

Namun pemerintah sendiri sejak 2016 memutuskan moratorium untuk DOB. Menurut Tjahjo Kumolo, Mendagri saat itu, pemerintah belum bisa memenuhi aspirasi 314 usulan DOB. Pemekaran daerah harus dikaji secara mendalam, jangan hanya jangan dilihat dari aspek pembangunan pemerintahannya saja. Perlu pertimbangan masalah SDM dan keuangan secara matang.

Sekarang saja dengan 514 kabupaten/kota yang asa, hampir 80 persen anggarannya berasal dari pemerintah pusat. Apalagi kalau ditambah 314 daerah baru. Selain itu, tidak semua daerah pemekaran dapat mandiri setelah berdiri selama beberapa tahun. Ada daerah yang sudah tiga tahun setelah terbentuk, belum mampu menentukan ibu kotanya.

Kemampuan keuangan

Menurut peneliti senior dari LIPI, R. Siti Zuhro, studi empirik  menunjukkan, pemekaran tidak berkorelasi positif terhadap kemajuan ekonomi dan tidak mampu mendorong pembangunan daerah otonom baru. Dia menilai hasil pemekaran daerah selama ini cenderung menimbulkan masalah baru.

Dikatakan,  87,71% daerah induk belum menyelesaikan penyerahan pembiayaan, personel, peralatan dan dokumen (P3D) ke daerah otonom baru. Kemudian sekitar 79 % DOB tak memiliki batas wilayah yang jelas.

Selain itu, 91,23% daerah yang baru mekar, belum punya rencana tata ruang dan wilayah (RTRW). Sedangkan 89,48 % daerah induk tidak jelas kapan akan memberikan dukungan dana kepada  daerah hasil pemekaran. Sementara itu 84,2% ASN sulit dipisahkan dari daerah induk ke DOB, serta  22,8% pengisian jabatan tidak berdasarkan standar kompetensi.

Keputusan moratorium DOB diperkuat dengan pernyataan Wakil Presiden Ma’ruf Amin belum lama ini. Keputusan itu, katanya, didasarkan pada kemampuan keuangan negara belum memungkinkan. Keuangan negara saat ini untuk pembiayaan prioritas-prioritas pembangunan nasional, termasuk untuk mengatasi pandemi Covid-19.

Hal itu ditambah dengan hasil evaluasi dan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tahun 2019 yang menunjukan, sumber pendapatan sebagian besar DOB belum mampu mandiri dan masih tergantung pada anggaran pendapatan belanja negara (APBN). Belum lagi porsi pendapatan asli daerah (PAD) dari wilayah yang dimekarkan, masih berada di bawah dana transfer pusat.

Untuk diketahui, sejak tahun 1999 hingga 2014 telah terbentuk 223 DOB. Ma’ruf menyebut, pemerintah sangat mengapresiasi berbagai upaya DPD RI untuk mendorong kemandirian fiskal daerah. Juga mengapresiasi semangat masyarakat dalam memperjuangkan pembentukan DOB. (Enton Supriyatna Sind)***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: