Selasa, 3 Desember 2024

Pahamilah, Ketika Muslim Mencintai Nabinya

Makam Nabi Muhammad SAW

TERKADANG banyak pihak tidak memahami, bagaimana umat Islam bereaksi begitu keras ketika Nabi yang dicintainya dihina. Semisal melalui kartun,film atau buku. Orang-orang Barat menyebut aksi-aksi seperti itu sebagai antidemokrasi dan kebebasan berekspresi atau ancaman kaum fundamental dan teroris. Sambil terus saja melancarkan serangan atas pribadi Nabi.

Menurut  Annemarie Schimmel dalam  bukunya Dan Muhammad Utusan Allah,  peran penting dan posisi istimewa Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari kaum Muslimin,  seringkali tidak dipahami orang-orang Barat. Mereka tidak mau mengerti dan cenderung mengabaikannya. Lebih parah lagi, seperti kata Karen Amstrong –penulis produktif yang berupaya agar Barat memahami Islam- sepanjang sejarah orang-orang Barat memang berusaha keras mendiskreditkan Rasulullah dengan berbagai cara.

Pandangan Wilfred Cantwel Smith lewat bukunya Modern Islam in India bisa melengkapi pemahaman atas masalah ini. Menurutnya, mungkin kaum Muslimin masih dapat membiarkan hujatan terhadap Allah,  keberadaan orang-orang ateis dengan berbagai publikasinya, serta masyarakat yang rasionalistik. Tetapi penghinaan terhadap Muhammad akan menyulut kemarahan kaum Muslimin, bahkan dari kalangan yang paling ‘liberal’ sekalipun. Ada fanatisme yang menyala-nyala.

Reaksi seperti itu sebenarnya muncul karena rasa cinta, yang berawal dari kewajiban agama. Sejarah Rasulullah, dipenuhi banyak kisah inspiratif tentang kecintaan para sahabat atas Nabi, yang melebihi cinta mereka pada diri, keluarga dan harta bendanya. Itulah sebabnya Imam Ali bin Abi Thalib bersedia tidur di tempat tidur Nabi pada malam ketika Rasulullah hijrah, untuk mengelabui kafir Quraisy. Imam Ali siap menanggung risiko paling buruk untuk figur yang dicintainya.

Ajaran Nabi yang meniadakan sekat-sekat sosial, keberpihakan pada kaum tertindas, kesamaan hak dan kewajiban setiap pribadi, cara pandang terhadap masa depan, merupakan bagian dari magnet yang mampu menyedot rasa cinta itu. Nabi menjanjikan kemerdekaan dari penjajahan budaya yang sudah dibangun masyarakat jahiliyah

Rasa cinta itu juga tumbuh di zaman sesudah Nabi wafat hingga hari ini.  Di zaman yang terpaut sangat jauh dari tokoh sentral pembawa ajarannya. Rasa cinta itu berkembang dalam spektrum yang lebih luas.. Berbagai kreativitas dilakukan orang untuk menunjukkan manifestasi cinta. Ajarannya diaktulisasikan  dalam memahami berbagai persoalan politik, ekonomi, sosial dan bidang kehidupan lainnya.

Selain ajaran pokoknya tetap terjaga, banyak hal telah lahir sebagai jalan untuk mencintai Nabi. Syair indah diciptakan, bermacam shalawat dilantunkan, peringatan maulid Nabi diselenggarakan, tasawuf berkembang pesat, karya-karya seni tumbuh tanpa henti. Lebih dari itu, bibir setiap Muslim menyebut namanya setiap hari dalam ibadah salat. Bahkan untuk identitas saja, tidak  terhitung lagi  jumlah lelaki yang memakai nama “Muhammad” atau “Ahmad” di dunia ini.

Mungkin sebagian orang menganggap tradisi keagamaan yang penuh puja-puji kepada Nabi, sebagai bid’ah atau syirik. Tetapi percayalah, itu muncul lantaran dorongan cinta yang begitu kuat. Bukan untuk menuhankan Kanjeng Nabi. Yang jelas,  Muhammad telah menjadi sumber inspirasi paling subur dan tidak tertandingi untuk berbagai  hal.

Melihat dengan adil

Reaksi keras yang ditunjukkan umat Islam atas kasus penghinaan, tidak jarang mendapat koreksi dari kalangan sendiri. Perilaku seperti itu dianggap tidak dewasa dan justru merusak nama Islam. “Menolak kemunkaran jangan dengan cara yang munkar,” demikian menurut kaidah yang sering dikutip para tokoh agama. Sedangkan AS dan sekutunya menempelkan label  ekstremis, teroris atau antidemokrasi.

Kita sepakat dengan kaidah yang dikatakan para tokoh agama itu. Menegakkan kebenaran, jangan lewat cara melawan kerusakan dengan kerusakan. Sebab bisa-bisa akhirnya seperti kata peribahasa “kalah jadi abu, menang jadi arang”. Namun pada tingkat tertentu, kemarahan umat Islam dalam eskalasi yang tinggi terhadap kasus itu, hendaknya dipahami secara adil.

Sejalan dengan rasa cinta pada Nabinya, kemarahan itu juga meledak karena kasus penghinaan yang terus menerus terjadi. Sementara sejumlah pemerintahan di Barat seringkali tidak membuat kebijakan untuk menghidari itu. Keadaan tersebut membuat umat Islam mencurigainya sebagai upaya jahat yang sistematis dan terlembagakan. Ini menimbulkan kekecewaan yang menggunung dan siap meledak setiap saat..

Kemarahan itu juga menemukan alasan, dengan berlangsungnya penjajahan AS dan sekutunya di kawasan Timur Tengah yang mayoritas Muslim. Dengan berkedok penegakan demokrasi, sejumlah negara dijadikan sebagi proyek pengerukan uang atau uji coba senjata baru. Di wilayah tersebut, seringkali kaum muslim ditindas dan dihinakan, termasuk pada simbol-simbol agamanya.

Belum lagi penerapan standar ganda dalam konflik Palestina-Israel, yang menimbulkan solidaritas luas. Ditambah kondisi ekonomi di beberapa wilayah yang tidak kunjung membaik. Semua persoalan itu bercampur aduk, berjalin berkelindan, dan seperti menemukan kanal saat terjadi kasus-kasus yang sensitif menyinggung keyakinannya.

Selamat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. (Enton Supriyatna Sind)***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: