SEKAR Roekoen (Sekar Rukun -SR) adalah sebua organisasi para pemuda Sunda yang didirikan para siswa Sekolah Guru (Kweekschool) di Jalan Gunungsari, Batavia, pada tanggal 26 Oktober 1919. Para pendiri SR antara lain Doni Ismail, Iki Adiwidjaja, Djuwariah, Hilman, Moh. Sapii, Mangkudiguna, dan Iwa Kusumasumantri (siswa Rechtschool). Tumbuh di tengah organisasi serupa seperti Jong Islamiten Bond, Jong Celebes, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Batak, dan Pemuda Kaum Betawi.
Tujuan awal didirikannya SR, untuk memajukan orang Sunda, mempersatukan para siswa Sunda, memperbaiki bahasa Sunda, dan menata hati. Untuk mencapainya, berbagai kegiatan dilakukan seperti mengumpulkan alat musik Sunda, mengajarkan ihwal kesundaan, membuat forum diskusi, bicara dengan bahasa Sunda, dan mengupayakan berdirinya perpustakaan dan surat kabar berbahasa Sunda.
Perkumpulan ini menerbitkan surat kabar bulanan dengan nama Sekar Rukun. Penanggung jawabnya adalah Husein Jayadiningrat. Sedangkan pemimpin redaksinya Doni Ismail dan Iki Adiwidjaya. Kelak Husein menjadi orang pribumi pertama yang memperoleh gelar doktor dan guru besar di Indonesia.
Perkumpulan SR kian berkembang. Cabangnya ada di Bogor, Bandung, Lembang, Serang, Salatiga dan Yogyakarta, Purwakarta dan Sukabumi. Jumlah anggotanya lebih dari 500 orang. Kegiatannya beragam yang mencakup kesenian, olahraga, ekonomi, keterampilan untuk kaum wanita, perpustakan, klub debat dan penerbitan. Komunikasi dengan perkumpulan pemuda lainnya diperkuat.
Perubahana AD/ART
Rapat Pengurus Besar Perkumpulan Sekar Roekoen memutuskan untuk berperan dalam Kongres Pemuda I pada 30 April-2 Mei 1926. Salah satu usulan penting SR dalam Kongres Pemuda I adalah agar dalam sidang-sidang kongres digunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya. Berdasarkan hasil rapat Pengurus Besar SR tanggal 29 April 1928, dilakukan perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Menurut angaran dasar yang baru, tujuan organisasi itu untuk menumbuhkan kecintaan pemuda Sunda terhadap tanah air serta meningkatkan pengetahuan orang Sunda, menyatukan para pemuda yang bisa berbahasa Sunda, dan mengupayakan kerukunan para pemuda Indonesia.
Dari perubahan tujuan tersebut, jelas terlihat SR memperluas wawasan dan kegiatannya. Bukan hanya untuk kepentingan Sunda saja, melainkan juga kepentingan Indonesia (nasional). Tidak hanya itu, keanggotaan pun diperluas. Seluruh pemuda Indonesia yang mengerti bahasa Sunda serta berusia kurang dari 35 tahun bisa menjadi anggota SR.
Menjelang Kongres Pemuda II 27-28 Oktober 1928, SR menggelar kongres tahunan pada 6–7 Oktober 1928. Diputuskan kemudian, utusan SR pada Kongres Pemuda II adalah Pengurus SR Cabang Batavia, yaitu Mupradi, Kornel Singawinata (mahasiswa kedokteran), Mareng Suriawidjaja (siswa AMS), dan Djulaeha (SR Bagian Istri).
Kekhawatiran JJ
Hadir dan berkembangnya SR bukan tanpa kendala. Surat kabar SR pada penerbitan Februari 1922 memuat tentang perundingan antara pengurus Jong Java dan SR di Sukabumi, mengenai eksistensi kedua organisasi tersebut. Kejadiannya itu boleh jadi mewakili kondisi psikologis dua organisasi tersebut secaa keseluruhan.
Secara terus terang, pihak JJ menyatakan kekhawatiran akan hancurnya organisasi itu jika SR eksis. Sebab murid-murid Sunda akan lebih memilih SR ketimbang JJ. Namun perwakilan dari SR tetap pada sikapnya dan menegaskan, tidak mungkin membatalkan pendirian SR di Sukabumi. “Tapi untuk membatalkan berdirinya SR, saya tidak akan, sebab olehh siapa lagi SR akan dipegang kalau bukan murid-murid Sunda,” kata perwakilan SR.
Dalam perundingan itu, satu pihak tidak menghendaki adanya dua kelompok yang seolah bersaing dalam keanggotaan. Sementara pihak lainnya mengungkapkan, soal keanggotaan itu terkait pilihan masing-masing. Bisa saja orang Jawa senang dan bergabung dengan SR, sebaliknya orang Sunda juga bisa jadi lebih memilih JJ.
Pembicaraan kemudian beralih pada soal iuran organisasi. Menurut pihak JJ, anggota JJ yang berasal dari kalangan Sunda akan banyak yang keluar lantaran iuran di SR lebih murah dari iuran di JJ. Jika itu terjadi tentu SR akan malu dibuatnya.
Pihak SR kemudian menyanggah hal itu. Jika ada anak Sunda keluar dari JJ dan ingin masuk ke SR hanya karena iurannya murah, dengan tegas akan ditolak. SR tidak membutuhkan anggota seperti itu. Sebab yang bersangkutan sejatinya bukan senang pada perkumpulannya, melainkan pada murah iurannya.
Bukan persaingan
Pihak redaksi koran SR memberi catatan, kalau JJ mau memajukan Sunda dan Jawa, harus bergembira dengan berdirinya SR. Karena bagi JJ, tentu meringankan untuk memajukan murid Sunda sebab ada yang membantu mendorongnya.
Maksud SR bukan mau menumbuhkan persaingan. Ini hanya untuk menandakan bahwa di Pulau Jawa ada satu bangsa yang mempunyai bahasa dan kesenian sendiri. Pada akhirnya sama menuju Jong Java.Karena JJ bukan hanya perkumpulan orang Jawa saja, tapi milik Sunda, Jawa, Madura, dan Bali. Diharapkan pengurus JJ Sukabumi tidak ragu dan tidak mempunyai prasangka buruk terhadap SR.
Itulah sebuah dinamika para pemuda Indonesia di masa lalu. Perbedaan dibicarakan dalam sebuah dialog yang sehat. Kedua belah pihak sama-sama mendambakan persatuan dengan caranya masing-masing.
Dialog itu sampai pada sebuah muara yang fenomenal yakni Sumpah Pemuda: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu tanah Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu bangsa Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. (Enton Supriyatna Sind)***