BANJIR Bandang yang melanda wilayah Garut selatan, mengakibatkan lebih dari 5.000 jiwa menjadi korban. Ribuan rumah terendam dan harta benda warga terbawa derasnya arus air, akibat meluapnya sejumlah sungai besar di kawasan itu. Ada tiga kecamatan dilanda terjangan air pada Senin (12/10/2020) itu, yakni Kecamatan Pameungpeuk, Cikelet, dan Cibalong. Sementara itu pada saat bersamaan ada tiga kecamatan lain yang disergap longsor dan pergerakan tanah, yaitu Cisompet, Peundeuy, dan Pamulihan
Kejadian itu mengingatkan kembali bahwa wilayah Jawa Barat memang daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi dalam bencana alam. Menurut catatan Indek Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2013, Jawa Barat mendapat skor 166 yang berarti termasuk kelas berisiko tinggi bencana. Empat daerah di Jabar termasuk peringkat tertinggi secra nasional dalam risiko bencana, yaitu Cianjur (peringkat 1), Garut (peringkat 2), Sukabumi (peringkat 3), dan Tasikmalaya (peringkat 5).
Selain kaya akan keanearagaman dan keindahan alamnya, Jawa Barat juga memiliki keanekaragaman bencana, baik alam maupun non-alam. Sebut saja misalnya, ancaman gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir dan tanah longsor, kekeringan dan kebakaran, serta puting beliung. Semuanya ada di provinsi ini.
Berdasarkan catatan, sepanjang tahun 2019 saja terdapat lenih dari 1.740 kejadian. Bencana alam paling menonjol terjadi aadalah tanah longsor sebanyak 478 kejadian. Kemudian kebakaran bangunan 357 kejadian, angin puting beliung 368 kejadian, banjir 138 kejadian, kebakaran hutan dan lahan 385 kejadian dan gempa bumi 14 kejadian.
Bencana alam juga mengakibatkan 93.076 warga terdampak, 32 orang meninggal dunia serta 20.870 rumah terdampak. Rincian rumah terdampak yaitu sebanyak 15.159 unit rumah terendam, 818 rusak berat, 2.130 rusak sedang dan 2.763 rusak ringan.
Sementara itu sejak Januari hingga Agustus 2020 telah terjadi 1.039 bencana alam di Jawa Barat yang berdampak pada 768.319 jiwa. Mayoritas bencana alam dalam kurun tersebut adalah bencana hidrologi, termasuk banjir dan tanah longsor. BPBD Jawa Barat mencatat 521 kejadian tanah longsor dari Januari hingga Agustus 2020.
Ancaman bencana tanah bergerak atau tanah longsor masih mendominasi angka musibah yang ada di Jawa Barat, terutama pada musim penghujan. Di kawasan selatan dan tengah Jawa Barat, terdapat 3.000 titik rawan bencana pergerakan tanah yang tersebar di 27 kabupaten dan kota.
Sesar aktif
Jawa Barat juga memiliki setidaknya tiga sesar aktif utama yang berpotensi menimbulkan gempa bumi, yaitu Sesar Lembang, Sesar Cimandiri, dan Sesar Baribis. Terdapat pula tujuh gunung api aktif yang berpotensi erupsi, meliputi Gunung Tangkubanparahu, Gunung Gede, Gunung Papandayan, Gunung Salak, Gunung Ciremai, Gunung Galunggung dan Gunung Guntur.
Megathrust di selatan Pulau Jawa berpotensi menimbulkan tsunami di pantai selatan ketika terjadi aktivitas tektonik yang besar. Peneliti ITB Sri Widiyantoro belum lama ini mengungkapkan hasil riset tentang potensi tsunami, yang dapat mencapai 20 meter di pantai selatan Jawa Barat dan 12 meter di selatan Jawa Timur.
Menurutnya, tidak ada gempa besar bermagnitudo 8 atau lebih dalam beberapa ratus tahun terakhir mengindikasikan ancaman gempa tsunamigenik dahsyat di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Tim peneliti menggunakan data gempa dari katalog BMKG dan International Seismological Center (ISC). D digunakan pula data GPS dari 37 stasiun yang dipasang di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pemprov Jabar tentu tidak bisa menganggap enteng ancaman berbagai bencana tersebut. Sebab itulah kemudian disusun dokumen hidup yang ditujukan untuk merestrukturisasi pemahaman dan pengetahuan masyarakat terhadap bencana. Dengan demikian timbul kesadaran, pengetahuan, dan kemandirian dalam menghadapi potensi-potensi ancaman bencana di masa endatang.
Dokumen itu bernama Jawa Barat Resilience Culture Province (JRCP), yang menggambarkan karakteristik ancaman bencana, regulasi, program/kegiatan, strategi dan pendanaan alternatif serta indikator- indikator penilai (indeks) yang menguatkan ketangguhan masyarakat Jawa Barat. Dokumen ini telah dirilis pada Agustus lalu.
Tentu saja menghadapi bencana, tidak cukup hanya dalam bentuk simulasi warga atau membagikan dokumen seputar bencana kepada mayarakat. Salah satu hal mendasar yang harus dilakukan adalah menyiapkan generasi yang paham potensi bencana, sekaligus juga punya kesadaran mengantisipasinya sejak dini.
Penyebaran virus kesadaran akan hal itu, bisa dimulai dengan menerapkan kurikulum tentang lingkungan di sekolah-sekolah. Beberapa waktu lalu saat bencana tsunami menerjang negeri ini, orang ramai membicarakan penerapan kurikulum bersangkutan. Terutama yang dikaitakan dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Entah, apakah sudah berjalan dan kini masih dipakai? (Sup)***