Sabtu, 27 April 2024

Rumus Pemulihan Ekonomi di Masa Pandemi

Keempat, terhadap perusahaan yang mulai beroperasi seperti biasa, masing-masing perusahaan juga menempuh kebijakan yang berbeda-beda dalam hal penggunaan tenaga kerja. Namun sebagian besar menempuh kebijakan tetap beroperasi seperti biasa namun mengurangi jam kerja karyawan. Namun tidak semua menempuh opsi tersebut, dari hasil survei ditemukan ada sekitar 14 dari 100 perusahaan yang mulai beroperasi, namun dengan terpaksa harus merumahkan karyawannya dan atau bahkan memberhentikan sebagian karyawannya.

Opsi-opsi tersebut memang sangat tergantung pada karakteristik masing-masing usaha, ada unit usaha yang bisa beroperasi dengan mengurangi jam kerja, namun tidak semua unit usaha bisa seperti itu, apalagi usaha-usaha yang terkait industri manufaktur dengan sifat labour intensive, dimana perubahan tingkat produksi secara otomatis harus disesuaikan dengan jumlah tenaga kerja yang digunakan secara proporsional, selain faktor perkembangan aktivitas usaha juga memperhatikan perubahan permintaan komoditas yang dihasilkan oleh perusahaan. Sebab penawaran (supply) pasti akan mengikuti permintaan (demand), karena memproduksi banyak tapi tidak ada yang beli bisa menjadi masalah bagi perusahaan.

Kelima, oleh karena aktivitas usaha bergerak mengikuti perubahan permintaan, maka dalam masa pandemi logisnya permintaan komoditas barang dan jasa tidak akan sekuat situasi normal. Indikasi itu terlihat dari fenomena deflasi yang terjadi di Indonesia sejak Juli sampai September kemaren. Fenomena deflasi atau penurunan harga-harga komoditas barang dan jasa dalam perekonomian erat kaitannya dengan penurunan permintaan, meski itu bukan satu-satunya penyebab. Reaksi logis yang banyak ditempuh oleh perusahaan ketika permintaan komoditas yang dihasilkan turun adalah mengurangi penggunaan input (faktor produksi) atau sumber daya. Salah satunya penurunan penggunaan tenaga kerja.

Melihat hasil survei BPS sebagai referensi utama data yang digunakan dalam tulisan ini, tindakan memberhentikan pekerja paling banyak dilakukan pada lapangan usaha industri manufaktur, menyusul kemudian terjadi pada lapangan usaha konstruksi serta lapangan usaha penyedian akomodasi dan makan minum. Kondisi yang terjadi di ketika lapangan usaha tersebut memang logis, jika melihat kontraksi pertumbuhan ketiga lapangan usaha tersebut dalam produk domestik bruto (PDB) di Triwulan II tahun 2020.

Lapangan usaha industri manufaktur terkontrasi hingga -6,19 persen dan konstruksi -5,39 persen. Lapangan usaha penyediaan akomodasi dan mamin bahkan terkontrasi sampai -22,02 persen. Jadi ketika pertumbuhan output terkontraksi, logis jika penggunaan tenaga kerja juga berkurang. Inilah dampak ekonomi dari pandemi Covid 19 yang paling merisaukan kita semua, makanya wajar kita berharap program-program jaring pengaman sosial (JPS) yang dilaksanakan pemerintah harus efektif dan tepat sasaran.

Keenam, lapangan usaha mana yang paling terdampak Covid 19? Hasil survei menunjukkan 3 teratas lapangan usaha yang paling terdampak adalah lapangan usaha akomodasi dan makan minum, kemudian lapangan usaha jasa lainnya, serta ketiga lapangan usaha transportasi dan pergudangan. Untuk ketiga lapangan usaha tersebut, rata-rata 90 persen unit usahanya terdampak ekonomi akibat pandemi Covid 19.

Kondisi tersebut memang terlihat logis kalau kita lihat kontraksi pertumbuhan ketiga lapangan usaha tersebut dalam PDB. Kontraksi pertumbuhan lapangan usaha akomodasi dan makan minum sebelumnya sudah disebutkan mencapai -22,02 persen. Kontraksi pertumbuhan lapangan usaha jasa lainnya juga mencapai -12,60 persen. Untuk lapangan usaha transportasi dan pergudangan bahkan mencapai -30,84 persen atau sektor dengan kontraksi pertumbuhan tertinggi sepanjang Triwulan II tahun 2020.

3 Sektor Usaha Tertinggi Terdampak Covid (Sumber: bps.go.id)

Terakhir, banyak informasi ekonomi dari hasil survei BPS di atas yang dapat mengkonfirmasi kabar terpuruknya banyak unit usaha di berbagai kelompok lapangan usaha dalam perekonomian Indonesia. Informasi kondisi terkini lapangan usaha akibat dampak pandemi Covid 19 sangat dibutuhkan, guna merumuskan kebijakan penyelamatan, pemulihan dan penormalan ekonomi Indonesia saat ini dan ke dapan. Jadi ada baiknya saat ini kita berangkat dari pemikiran optimis dapat beradaptasi di iklim ekonomi era pandemi Covid 19. Optimis akan membawa sprit luar biasa, modal awal melalui berbagai rintangan yang ada.

Tidak optimis berarti kalah sebelum bertarung. Optimis tidak berarti nekat, semua butuh perhitungan dan pertimbangan. Testimoni saya, kita harus berangkat dari motivasi “Kill the Virus, but Not Economy” Kalau tidak ingin usaha kita bisa mati konyol. Krisis ekonomi bukan baru ini saja. Meski harus diakui krisis ekonomi kali ini bisa lebih berat.

Ingat, kebijakan PSBB apapun skalanya adalah untuk tujuan memutus mata rantai penyebaran Covid 19. Semua pasti sepakat bahwa keselamatan nyawa adalah harga mati, tidak bisa ditawar-tawar. Sebab dalam situasi seperti sekarang, siapapun nyawanya dalam posisi terancam. Tidak peduli status ekonomi (kaya miskin), orang kota atau desa, laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, semuanya punya peluang sama terpapar pandemik Covid 19. Yang membedakan risiko hanyalah sikap tanggap perlindungan kesehatan masing-masing individu terus kelompok.

Persoalannya kita ikut aturan atau tidak, kita mengikuti informasi apa tidak. Selanjutnya takdir yang menentukan. Jadi penting dipahami bahwa memaksimalkan perlindungan diri agar tidak terpapar Covid 19 adalah tugas masing-masing. Kalau kita menerapkan prinsip-prinsip itu (perlindungan maksimal), maka potensi masalah risiko kesehatan akibat pandemik Covid 19 dapat diminimalkan sehingga ekonomi bisa cepat pulih.

Jadi ketika melihat informasi hasil survei BPS sepertinya dapat dimaklumi pandangan dunia usaha dan pengusaha daerah terpecah dua. Ada kalangan yang sabar menunggu dan yang kurang sabar untuk segera kembali beraktivitas ekonomi seperti sebelum kenormalan baru. Maklum realitas kondisi ekonomi dan keuangan masing-masing pelaku usaha daya tahannya juga berbeda-beda.

Dalam iklim ekonomi kenormalan baru sesungguhnya kita tinggal memasukan norma baru yaitu norma perlindungan kesehatan dalam setiap aktivitas ekonomi. Untuk itu penting merapkan standard operating procedure (SOP) dan mitigasi risiko kesehatan di setiap aktivitas usaha. Mitigasi risiko dampak pandemik Covid 19 dalam aktivitas usaha harus optimal, tidak bisa dianggap remeh. Karena risikonya tidak hanya ditanggung sendiri, tetapi juga bisa berdampak ke banyak orang. Sekali aktivitas ekonomi terdampak akibat kelalaian, efek psikologisnya akan memperburuk kondisi ekonomi. Sejarah dampak pandemik Covid 19 terhadap ekonomi awalnya terjadi melalui pengurangan aktivitas dan mobilitas penduduk (konsumen dan produsen).

Terhentinya aktivitas/mobilitas menyebabkan transaksi komoditas barang dan jasa di pasar terhenti. Inti dari kegiatan ekonomi adalah pasar, tempat bertemunya penjual dan pembeli. Sementara mungkin bisa menghentikan pasar. Tapi sampai kapan? Untuk itu taatlah pada setiap tahapan pemutus mata rantai Covid 19 biar kita semua bisa masuk di iklim ekonomi kenormalan baru dengan lebih mudah tanpa keraguan.

Agar tidak masuk ke jurang resesi ekonomi yang sangat dalam, aktivitas ekonomi harus segera bergerak kembali dengan persyaratan kenormalan baru, dimana perlindungan kesehatan diterapkan maksimal dengan mitigasi risiko 24 jam. Perlindungan kesehatan pribadi bukan saja hanya ditempat kerja, ditempat menjalankan aktivitas ekonomi, tetapi sejak dirumah hingga kembali lagi kerumah. Investasi perlindungan kesehatan wajib dilakukan oleh setiap entitas ekonomi. Tanpa investasi itu dipastikan aktivitas usaha di iklim ekonomi kenormalan baru bisa malah hancur lebur. Kalau dunia usaha semakin terpuruk, semua kena imbasnya.

*Acuviarta Kartabi adalah Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Bisnis Universitas Pasundan.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: