Rabu, 17 April 2024

Membawa Empati ke Pelosok Desa

Aktivis Indonesia Empathize, menyerahkan sumbangan untuk warga di Mekarmanik, Cimenyan, Selasa (6/10/2020).

Pandemi Covid19 yang melahirkan krisis ekonomi, membutuhkan solidaritas sosial. Namun menurut Ninna Danny Hilman Natawidjaja, solidaritas sosial tak cukup sekadar membagi donasi. Keterlibatan langsung mendampingi kaum miskin menurutnya sangat diperlukan. Dengan terjun langsung, tindakan amal yang dilakukan akan menemukan sasaraan yang tepat dan mengubah keadaan.

“Kalau kita aksi hanya menyumbang materi, bisa jadi kegiatannya hanya berlangsung sesaat. Tapi kalau kita turun langsung akan segudang manfaat yang didapat,” kata pendiri gerakan Indonesia Empathize  – sayap gerakan perempuan Odesa Indonesia-  itu kepada apakabar.news di tengah kegiatan berbagi beras dan belanja hasil panen petani di Oraytapa, Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Selasa (6/10/2020).

Seperti yang dilakukan pada hari Minggu dan Senin ini pekan pertama Bulan Oktober 2020 ini, Nina aktif blusukan ke kampung-kampung di Cimenyan.  Hari Minggu (4/10) lalu ia aksi bersama Yuliani Liputo dan Selasa (6/10) ini ia mengajak kedua temannya Yuanita Poerwanto dan Linda Ivan.

Kegiatan gerakan Indonesia Empathize yang dilakukan antara lain, berbagi buku dan alat tulis untuk anak-anak petani pra-sejahtera, berbagi beras untuk fakir miskin pengangguran. Selain itu, Nina dan rekan-rekannya juga aktif memperhatikan kesehatan bayi, ibu menyusui, dan mengontrol perilaku hidup sehat keluarga pra-sejahtera.

“Mereka jauh dari kesejahteraan.  Pendapatan keluarga mereka banyak yang berkisar hanya Rp 600.000 sampai Rp 1.000.000 per-bulan. Tentu masalahnya bukan sekadar materi. Ada hal yang membuat kita harus terus mempelajari dan memahami pola pikir mereka, terutama untuk kesehatan dan pendidikan,” kata Nina.

Berdasarkan empati

Menurut Nina, organisasi Indonesia Empathize bekerja atas dasar empati, bukan simpati sehingga yang dilakukannya adalah melakukan pendampingan secara rutin. Tidak hanya mengajarkan, tapi juga belajar dari kehidupan para petani. Karena banyaknya keluarga pra-sejahtera yang harus diurus, solusinya adalah mengintegrasikan pendampingan tersebut dalam kerja kolektif.

“Kami menjalankan kegiatan pendapingan petani di Bandung Utara ini secara kolektif sehingga waktu dan tenaga bisa diatur. Ada yang berdonasi, ada yang menyalurkan. Ada pula yang mengontrol di lapangan sekaligus mengevaluasi. Dari sana kita juga dapat ilmu tentang kehidupan yang berbeda dari kita yang tinggal di kota,” terang Nina yang saat ini sedang getol mendorong ibu-ibu lebih semangat menjalankan tani pekarangan.

Gerakan Indonesia Empathize, menurut Nina, harus terus masuk ke kalangan keluarga pra-sejahtera karena banyak perempuan yang memiliki semangat perubahan. Pengalaman bergiat di Odesa Indonesia juga membuktikan kaum perempuan lebih mudah memperbaiki keadaan di banding kaum laki-laki.

“Laki-laki belum tentu bisa mengerjakan pekerjaan perempuan. Tapi perempuan bisa mengganti pekerjaan laki-laki. Di Cimenyan banyak petani perempuan nyangkul, bahkan mengangkut beban berat. Dan kalau kita (para pendamping perempuan yang melakukan-red), mereka lebih mudah mengikuti arahan,” tuturnya. (Abdul Hamid)

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: