Selasa, 19 Maret 2024

Stop Perburuan Gigi Hiu Raksasa, Warga Ingin Punya Museum

Mansur menunjukkan salah satu koleksi gigi hiu raksasa miliknya. Foto: Istimewa.

Anda pernah mendengar istilah “huntu gelap”? Dalam bahasa Sunda, “huntu” berarti gigi dan “gelap” adalah petir. Gigi petir merupakan sebutan berbau mitos tentang gigi berdaya rusak dahsyat, setiap  kali petir manyambar dengan suara menakutkan. Gigi tajam itulah yang membuat pohon hangus dan tumbang, nyawa orang melayang.

Akan tetapi di kawasan Jampang Surade Kabupaten Sukabumi, istilah ini begitu populer dan berdaya tarik rupiah yang tinggi. Ya, huntu gelap menjadi harta yang diburu banyak orang untuk dijual dengan harga mahal. Perburuan semakin menjadi-jadi ketika masyarakat didesak kebutuhan ekonomi akibat wabah corona.

“Huntu gelap atau gigi petir adalah sebutan lain untuk fosil gigi hiu purba yang banyak ditemukan di Sukabumi selatan. Benda tersebut tersebar di berbagai tempat, ya pabalatak. Warga sejak lama mengetahui dan menganggapnya sebagai hal biasa saja,”kata Mansur (44) warga Desa Gunung Sungging Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, kepada apakabar.news, Minggu (14/2/2021).

Sesuatu yang semula dianggap biasa itu kemudian menjadi luar biasa, setelah sejumlah pengepul sengaja mencari gigi hiu purba untuk dijual ke konsumen di luar negeri. Maka masyarakat pun tergiur dengan harga yang ditawarkan. Mereka melakukan penggalian di lokasi-lokasi yang dianggap menyimpan “harta karun” itu.

Sudah lebih dari 100 buah gigi yang terjual. Harganya bervariasi tergantung ukurannya. Sebelum pandemi Covid-19 mendera, harganya antara Rp 200 ribu hingga Rp 1 juta. Namun di masa wabah corona, harganya melambung tinggi. Misalnya untuk ukuran 2 cm harganya Rp 5 juta, 14 cm dijual Rp 12 juta dan 19 cm dipatok Rp 150 juta.

“Di perut bumi Surade ini masih banyak kalau digali. Para pembelinya berasal dari luar negeri seperti Amerika Serikat, Meksiko dan Australia. Kami tidak tahu, untuk apa gigi hiu itu mereka beli. Apakah untuk koleksi ataukah untuk kepentingan yang lain. Warga mah tahunya ya menjual saja pada pengepulnya,” kata Mansur yang juga punya beberapa koleksi gigi hiu purba.

Mansur mengakui, bisnis gigi petir menguntungkan apalagi dalam situasi sulit sekarang ini. Namun dia dan sejumlah warga lainnya segera menyadari, jika aktkivitas perburuan gigi hiu purba terus dilakukan, maka lingkungan akan rusak dan aset mahal negeri ini akan musnah. Mereka yang selama ini terlibat dalam urusan tersebut kemudian berembug. Akhirnya Mansur melaporkannya ke Pemkab Sukabumi yang meneruskannya ke Badan Geologi Kementeriana ESDM.

Kepala Desa Gunung Sungging, Nanang, menjelaskan, setidaknya ada 5 titik lokasi penemuan gigi petir. penemuan. Dia berharap agar warisan alam tersebut tidak sampai punah. “Kalau fosil ini terus digali dan diperjualbelikan, ya akan habis. Kalau habis, apa yang kami warisan untuk generasi mendatang,” katanya dalam webinar “Jejak Kehidupan Laut Purba Jampang Sukabumi”, Senin (15/2/2021).

Nanang meminta adanya pengakuan dari pihak UNESCO tentang keberadaan peninggalan penting satwa purba itu. Apalagi desanya tidak jauh dari kawasan Geopark Ciletuh. “Kami ingin di sini dibangun museum, wisata edukasi. Kami juga sudah mengumpulkan sejumlah gigi hidu itu sebagai koleksi dan bahan pengetahuan,” tuturnya.

Hiu raksasa

Menurut Dr. Aswan, ST., MT, yang juga berbicara dalam webinar tersebut, berdasarkan bukti-bukti geologi dan paleontologi, kawasan Jampang yang sekarang merupakan daratan bahkan ada perbukitan, di masa lalu merupakan laut. Bahkan ada di beberapa bagian merupakan laut dalam dengan kedalaman lebih dari 100 meter.

Beberapa hasil penelitian menyebutkan, daerah Jampang terakhir menjadi daratan sekitar 35 juta tahun. Setelah itu kemudian menjadi laut hingga pada 5 juta tahun lalu berubah lagi menjadi daratan. Banyak ditemukan bukti menarik, antara lain berupa fosil-fosil moluska laut seperti kerang. Juga ditemukan gigi hiu purba dan tulang belakang paus purba.

“Itu gigi hiu putih raksasa megalodon, panjang tubuhnya bisa mencapai 20 meter. Sedangkan paus, merupakan mangsa dari megalodon. Habitat megalodon itu berada di kedalaman laut antara 50 meter hingga 100 meter. Kita bayangkan, di kawasan itu dulu adalah tempat hidup fauna laut raksasa,” kata pengajar di Teknik Geologi ITB ini.

Foto: kajampang.com

Pada acara yang sama, Kepala Museum Geologi Iwan Kurniawan, ST, mengungapkan, pihaknya pada 2017 melakukan riset di daerah Surade. Ditemukan fosil berupa pecahan tengkorak, rahang dan tulang belakang paus yang kemungkinan usianya masih muda. Jadi memang di daerah itu kaya dengan temuan khazanah fauna laut purba.

“Tentang gigi hiu megalodon yang ditemukan di Surade, ini sangat fenomenal. Sejauh ini tidak banyak temuan fosil gigi megalodon berukuran besar. Di Indonesia hanya di Surade dengan ukuran terbesar 18 cm. Di luar negeri ada yang mencapai 24 cm sampai 25 cm dengan berat antara 48 ton hingga 70 ton,” tuturnya.

Iwan berharap lingkungan tempat ditemukannya fosil-fosil itu dikonservasi sebagai bahan edukasi. Masyarakat Sukabumi sudah selayaknya bangga, karena ada koleksi penting di bidang geologi yang belum ditemukan di daerah lain. “Jadi, sangat disayangkan kalau kemudian koleksi itu habis karena diperjualbelikan. Saya juga berharap di daerah itu dibangun sebuah museum,” kata Iwan Kurniawan.  (Enton Supriyatna Sind)***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: