PROGRAM moderasi beragama telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Moderasi beragama dianggap sebagai faktor penting untuk memperkuat persatuan dan menjaga perdamaian bangsa Indonesia. Program ini terus disosialisasikan kepada masyarakat. Lalu, apa moderasi beragama itu?
Menurut Muhammad Hasyim Kamali, profesor hukum di Universitas Islam Internasional Malaysia, prinsip dasar moderasi beragama adalah keseimbangan dan adil. Dalam kerangka ini, seorang yang beragama tidak boleh ekstrim pada pandangannya, melainkan harus selalu mencari titik temu. Konsep dasar ini merupakan esensi ajaran Islam yang seringkali dilupakan umatnya.
Senada dengan itu, Ismail Raji al-Faruqi, cendekiawan asal Palestina, menyebutkan, moderasi itu memiliki makna berimbang (tawazun) atau the golden mean sebagai sikap untuk menghindarkan diri dari dua kutub ekstrim yang tidak menguntungkan, sembari terus berupaya mencari titik temu menggabungkannya. Sikap selalu mengambil jalan tengah yang berimbang.
Sedangkan perwujudannya, “Perilaku menjalankan ajaran agama dengan mengedepankan keadilan dan keseimbangan. Pemahaman ajaran agama secara adil dan berimbang akan membuat individu lebih toleran menyikapi perbedaan di Indonesia yang memiliki keragaman suku maupun budaya,” ujar Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa’adi dalam keterangan tertulisnya belum lama ini.
Moderasi beragama bukan hanya dialamatkan pada Islam, melainkan juga semua agama yang ada. Nilai tersebut ada di semua agama, karena pada dasarnya semua agama memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang sama. Moderasi beragama bisa diwujudkan apabila seseorang memahami ajaran agamanya secara utuh.
Namun, bukan pemahaman tekstual yang mempersempit makna dari ajaran agama. Bukan pula memahami ajaran agama yang keluar dari teks ayat suci, sehingga menafsirkan dengan pemikiran yang lebih cenderung materialistis sekuler, liberal, dan mengabaikan prinsip keagamaan (ruh diniyah).
Ciri-cirinya antara lain ialah keyakinan bahwa ayat suci merupakan teks terbuka yang bisa didekati dengan cara dan metode apapun. Ketika pemeluk agama salah menafsirkan sebuah tuntunan, maka ia rentan menyimpang dari ajaran agama dan terjerembab pada pemikiran ekstrem.
Cara pemahaman keagamaan yang sempit, kata Zainut, dikhawatirkan menimbulkan praktik dalam beragama yang menjurus pada ekstrem yang berlebih-lebihan. “Inilah pentingnya kita semuanya memahami ajaran agama secara komprehensif secara mendalam tidak sepotong-sepotong,” ungkapnya.
Kearifan lokal
Dalam konteks ini, Edi Junaedi dari Balitbang dan Diklat Kemenag RI, mengungkapkan tentang indikator moderasi beragama. Pada indikator komitmen kebangsaan, dapat diukur sejauh mana praktik beragama seseorang selaras dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945 dan turunannya.
Sedangkan indikator toleransi, bisa diukur dengan sejauhmana seorang yang beragama bisa menerima orang lain yang berbeda paham dan keyakinan dalam beragama. Sekaligus tidak mengganggu yang berbeda tersebut untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinan, juga menyampaikan pendapatnya.
Indikator lainnya adalah akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Seseorang yang beragama bersedia menerima praktik keagamaan yang mengakomodasi kebudayaan dan tradisi lokal. Orang yg moderat bersikap ramah menerima tradisi dan budaya lokal, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agamanya,” ujar Edi saat bicara dalam sebuah acara di Bandung, belum lama ini.
Karakter Islam moderat, bisa dirujuk pada sejarah awal masuknya Islam ke bumi Nusantara. Walisongo merupakan arsitek yang handal dalam pembumian Islam awal di Indonesia dengan cara damai. Tidak memaksa pemeluk lain untuk masuk agama Islam, menghargai budaya yang tengah berjalan, dan bahkan mengakomodasikannya ke dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan identitasnya.
Proses Islamisasi yang berlangsung damai menjadi modal sosial yang baik dalam membentuk tradisi ummatan wasathan (umat moderat), dengan melibatkan banyak inklusivisme, akomodasi dan akulturasi dengan budaya lokal.
Moderasi beragama juga anti-kekerasan, yang berarti sejauhmana seorang yang beragama mengekspresikan paham dan keyakinannya secara damai tanpa kekerasan, baik di tingkat verbal, fisik, maupun pikiran. (Enton Supriyatna Sind)***