MOHAMMAD Natsir pernah menjabat Menteri Penerangan dalam beberapa kabinet pada masa revolusi dan Perdana Menteri Pertama NKRI. Pada tahun 3 April 1950 dia membuat langkah politik yang disebut “Mosi Integral Natsir”, yang mengubah Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada 1956, Ketua Umum Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) itu sudah tidak lagi menjabat di pemerintahan, hanya punya mobil pribadi yang sudah kusam bermerek DeSoto. Mobil tersebut buatan Amerika Serikat, diproduksi dan dijual oleh Chrysler Corporation dari tahun 1928 sampai 1961.
Suatu hari datang ke rumahnya seorang tamu dari Medan, dan bermaksud memberikan hadiah sebuah mobil yang lebih bagus. Tapi Natsir menolaknya. Kepada anak-anaknya dia berkata, “Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup”.
Tempat tinggal Natsir selama menjadi pejabat tinggi negara, kerap berpindah-pindah. Karena memang tidak punya rumah sendiri. Kebanyakan menumpang di rumah orang. Kemudian dia tinggal di rumah tetap di Jalan Jawa Jakarta. Rumah tanpa perabotan itu dibeli pemerintah dari seorang saudagar Arab dan kemudian diserahkan untuk Menteri Penerangan. Natsir lalu mengisinya dengan perabotan bekas.
Guru besar Universitas Cornell AS, George McTurnan Kahin pernah bertemu Natsir. Dia melihat pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan. Tokoh legendaris Partai Masyumi itu mengenakan jas bertambal. Kemejanya hanya dua setel dan sudah butut.
Demikian pula dengan Prawoto Mangkusasmito, Ketua Umum Masyumi setelah Mohammad Natsir. Dia hidup sangat sederhana bahkan tidak punya rumah. Ketua Umum Partai Katolik, Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono -lebih dikenal dengan nama IJ Kasimo- berinisiatif menginisiasi urunan untuk membelikan rumah bagi Prawoto.
Pandangan boleh berbeda, agama berbeda, tetapi itu tidak mampu menghalangi kesantunan dan persahabatan dua tokoh pejuang: Mohamad Natsir dan dan IJ Kasimo. Dalam sejarah, begitu populer keakraban dua tokoh ini. Menurut Buya Syafii Ma’arif, keduanya membangun pondasi persahabatan yang tulus. Persahabatan itu terpupuk oleh idealism dan integritas pribadi. Mereka adalah moralis sejati, yang peka membaca tanda-tanda zaman realitas rahim bangsanya.
Partai berlambang bulan bintang itu, di masa lalu bertabur bintang. Selain Muhammad Natsir, ada pula Burhanuddin Harahap yang juga pernah menjabat perdana menteri, Syafrudin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran, Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia, dan Gubernur Bank Indonesia), dan Mohammad Roem (diplomat ulung yang dikenal lewat Perundingan Roem–Royen).
Maka ketika Partai Masyumi dihidupkan lagi, melalui deklarasi hari Sabtu (7/11/2020), di Jakarta, seharusnyalah keteladanan dari para tokoh partai ini di masa lalu, menjadi spririt dalam etika berpolitik dan keadaban dalam kehidupan sehari-hari. Masyumi adalah nama besar dan rumah bagi tokoh-tokoh besar. Masyumi dihidupkan lagi tentu bukan hanya untuk terlibat dalam hingar-bingar politik di Tanah Air. (Elsindi)***