Oleh: Yuliani Liputo, Penulis.
Di masa pandemik ini, sering kita dengar ada orang-orang yang tidak percaya keberadaan virus Corona. Mereka mengatakan Covid-19 itu hoax, konspirasi dunia kesehatan untuk mengambil keuntungan, dan pemerintah bereaksi berlebihan. Orang-orang ini tak mau mengikuti protokol kesehatan untuk selalu memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Tapi tak jarang begitu dites usap, di antara mereka ada yang terbukti positif. Setelah itu pun sebagian mereka masih tetap bersikeras, itu bukan karena virus corona. Warganet menyikapi kabar semacam ini dengan bersikap “syukurin, rasain”.
Pemuncak dari kelompok penyangkal ini tak lain adalah presiden AS sendiri, Donald Trump yang beberapa hari lalu baru dinyatakan positif Covid-19. Berita itu seperti ledakan bom yang mengejutkan seluruh dunia dan menimbulkan berbagai macam reaksi dari simpati hingga rasa puas, lantaran begitu bombastisnya selama ini penyangkalan Trump.
Sebagian orang terang-terangan mengatakan Trump tak pantas mendapatkan simpati setelah meremehkan parahnya pandemi ini selama berbulan-bulan dan bahkan mengejek orang karena memakai masker. “Pembalasan karma,” ejek mereka, dan memunculkan tagar #TrumpHasCovidParty di Twitter.
Hu Xijin, redaktur surat kabar milik pemerintah Cina, Global Times, menulis di Twitter dalam bahasa Inggris dengan nada puas: “President Trump and the first lady have paid the price for his gamble to play down the Covid-19” (Presiden Trump dan Ibu Negara telah mendapat balasan atas sikap meremehkan Covid-19). Seorang teman fecebook saya warga AS, menulis status, “No ‘Sympathy for the Devil’“, mengutip judul lagi terkenal dari Rolling Stones.
Yang lain mengambil sikap lebih hati-hati dengan mengatakan meskipun mereka tak suka cara Trump menangani virus corona di AS, tidak sopan untuk menunjukkan rasa senang atas masalah seserius itu. “Saya tidak ingin bersikap jahat kepada siapa pun,” demikian alasan mereka.
Ada sebutan untuk perasaan ambigu seperti ini, reaksi spontan kita terhadap berita buruk yang memunculkan ambigu antara rasa senang dan kasihan: schadenfreude. Istilah ini berasal dari bahasa Jerman, gabungan dari kata schaden (jahat) dan freude (gembira).
Pada hari munculnya berita Trump positif Covid-19, Merriam-Webster mencatat pencarian kata schadenfreude melonjak sebanyak 30.500%—dan kata tersebut ramai digunakan dalam beberapa artikel dan tajuk berita seputar diagnosis tersebut dan reaksi global terhadapnya.
Tak ada kata bahasa Indonesia untuk perasaan ini. Ungkapan “syukurin” bukan sebutan memadai untuk sebuah jenis reaksi. Banyak bahasa yang juga tidak memilikinya dan meminjam istilah dari Jerman ini. Bahasa Inggris pertama kali memasukkannya ke dalam kamus Oxford pada 1895.
Bahasa Jepang juga tidak memiliki kata khusus untuk schadenfreude, tapi punya peribahasa yang mengungkapkan emosi ini, salah satunya: Hito-no-fukou-wa-mitsu no aji (Kemalangan orang lain berasa seperti madu). Belakangan, dalam bahasa gaul anak muda Jepang, berkembang istilah meshi-uma yang diturunkan dari ungkapan: Tanin-no-fukou-de-meshi-ga-umai (Makanan terasa lezat ketika disajikan di atas kemalangan orang lain).
Bahasa Spanyol, meski tidak punya kata untuk emosi ini, punya ungkapan: Gozarse en el mal ajeno, no es de hombre buen (Orang yang gembira atas kemalangan orang lain bukanlah orang baik).
Sering dikecam
Perasaan schadenfreude sering muncul dalam kompetisi olahraga, misalnya ketika fans Persib meluapkan kegembiraan mendengar berita kekalahan Persija dalam pertandingan melawan kesebelasan mana pun. Atau ketika kita tertawa mendengar seorang teman menceritakan kembali kemalangannya salah naik kereta di sebuah negara asing yang membuat dia kepayahan naik turun tangga stasiun sambil membawa koper berat.
Film komedi sering memanfaatkan emosi ini dengan menunjukkan salah satu karakter bernasib sial, berulang kali jatuh terpeleset, dan derai tawa penonton meningkahi di latar belakang. Alih-alih sedih, nasib buruk dan kegagalan yang menimpa orang lain justru membuat kita diam-diam atau terang-terangan tertawa senang.
Apakah perasaan ini tidak etis, anti-sosial, dan sadistis? Sepintas bisa tampaknya begitu. Sepanjang sejarah, schadenfreude memang lebih sering dikecam. Orang yang merasakannya dipandang melanggar kewajiban untuk menumbuhkan kebajikan welas asih. Perasaan itu dianggap sebagai kesalahan moral yang harus dihindari. Filsuf Jerman Arthur Schopenhauer menyebutnya “tanda sempurna kebusukan hati dan cacat moral yang mendalam”; yang lain menyebutnya “perasaan jahat dan tidak bermoral” (Baudelaire) dan berbahaya bagi hubungan sosial (Heider).
Namun tidak semua pemikir berpendapat begitu. Dalam Human, All Too Human, Nietzsche menjawab pertanyaan, “Apakah schadenfreude itu buruk seperti yang dikatakan Schopenhauer?” dengan mengatakan “Semua kesenangan, pada hakikatnya, tidak baik dan tidak buruk.”
Dalam buku Schadenfreude: the Joy of Another’s Misfortune karya Tiffany Watt Smith, seorang sejarawan budaya di London, menawarkan pandangan yang tidak terlalu suram. Schadenfreude, yang dia gambarkan sebagai “semburan kesenangan yang membingungkan, diselubungi oleh rasa malu”, sebenarnya sangat lazim terjadi.
Tidak selalu menyiratkan rasa iri atau benci, emosi ini merupakan kondisi yang berakar dalam diri setiap kita, ketika kita merasa senang melihat kemalangan terjadi pada orang lain yang bahkan sama sekali tidak kita kenal dan mungkin pada orang baik yang tak pantas mendapatkan kejadian seperti itu.
Respons pada ketidakadilan
Sebuah studi berjudul “There is no joy like malicious joy,” menemukan bahwa emosi ini muncul pertama kali dalam diri manusia sejak usia 24 bulan. Anak-anak pun merasakan schadenfreude, bahkan mereka tidak menyembunyikannya. Para peneliti menduga emosi ini “berevolusi dari respons manusia terhadap ketidakadilan.”
Emosi kita sangat dipengaruhi oleh kecenderungan untuk membandingkan keadaan relatif kita terhadap orang lain. Pada hari-hari buruk ketika kita sedang merasa terpuruk, kurang beruntung dan tak bersemangat, menjelajah linimasa media sosial kadang dapat memperbaiki suasana hati (mood). Kita mungkin menemukan keadaan kita tidak lebih buruk dibandingkan orang lain.
Memperoleh pembanding seperti itu dapat memberi sudut pandang baru dan membangkitkan kembali semangat kita. Namun tentu saja tidak perlu disertai dengan menertawakan orang yang bernasib lebih buruk, sekadar merasa lebih beruntung dan masih harus bersyukur masih memiliki keberuntungan dan kebaikan dibanding orang lain. Schadenfreude adalah emosi yang sah untuk kejadian yang kita pandang setimpal dengan perbuatan buruk seorang. Ketika rasa keadilan kita terpuaskan dengan nasib yang menimpa seorang orang jahat.
Sebagian profesional kesehatan mental mengingatkan ada beragam nuansa dalam rentang emosi ini. Meski mungkin merupakan bagian normal pengalaman manusia, dalam porsi yang lebih besar emosi ini dapat mengindikasikan kondisi kesehatan mental. Dari yang ringan seperti tersenyum simpul pada nasib apes orang lain—seperti terpeleset kulit pisang atau salah omong di depan publik—hingga yang berat seperti senang atas penderitaan yang lebih serius seperti sakit parah atau kematian anak.
Orang dengan kepribadian antisosial mungkin merasa senang dengan penderitaan orang lain dan tidak ambil pusing soal nasib mereka. Kecemasan kronik, depresi dan harga diri yang rendah juga merupakan sebab orang mencari validasi melalui kegagalan orang lain.
Terhadap apa yang kini dialami Donald Trump, mungkin banyak orang yang tidak ragu untuk merasa positif dengan kabar tersebut. Ribuan twit dan lonjakan tiga puluha ribu kali lipat pencarian kata schadenfreude menjadi indikatornya. Rasanya setimpal? Mungkin. Setelah itu terpuaskan, mungkin simpati sesama manusia boleh kembali dimunculkan ke permukaan.***