Sabtu, 27 April 2024

Bapak Gede, Sopir Para Gubernur di Awal Kemerdekaan

 

Gubernur Jabar Datuk Jamin (1945-1946). Foto: Istimewa

AMSU adalah seorang lelaki berusia 55 tahun. Bobot tubuhnya besar dan tegap. Sehari-hari mengemudikan mobil warna biru bernomor D1, mobil dinas Gubernur Jawa Barat Sanoesi Hardjadinata. Dengan pengalaman mengemudi selama 38 tahun, Amsu sangat bangga akan pekerjaannya selama ini. Karena tubuhnya besar, rekan-relan seprofesi memangginya “Bapak Gede”.

Sosok Amsu tersebut diungkapkan melalui sebuah feature dalam koran berbahasa Belanda De Preangerbode, yang terbit pada edisi tanggal 23 Juni 1952. Koran itu mungkin tertarik dengan Amsu  yang menjadi pengemudi mobil dinas beberapa tokoh penting di Jawa Barat dalamn situasi dan kondisi yang berat.

Sebelum menjadi pengemudi mobil pejabat negara, Amsu memulai pekerjaannya pada tahun 1914 sebagai sopir pekebun di sebuah perusahaan di Cigombang. Koran itu tidak menjelaskan di mana lokasi Cigombang. Apakah di kawasan Gunung Talagabodas wilayah Garut?  Sementara itu ada nama daerah pertanian di Bogor, namanya hampir sama, Cigombong. Entahlah.

Koran De Preangerbode melanjutkan, meskipun penghasilan Amsu sebelum Perang Dunia II tergolong baik dan layak dengan gaji 100 gulden sebulan, namun dia menganggap periode setelah pendudukan Jepang sebagai keadaan terbaik dalam hidupnya.

“Saya menjadi pengemudi mobil gubernur itu sebuah kebetulan. Ceritanya dimulai saat berada di sebuah desa di kawasan Gunung Talagabodas tahun 1942. Suatu hari, ada sebuah mobil sedan bagus mogok di pinggir jalan. Beberapa orang Jepang sibuk memperbaikinya berjam-jam, tapi tidak tidak berhasil. Mereka menggerutu kesal,” ujar Amsu.

Dalam keadaan putus asa, mereka masuk ke kampung terdekat untuk meminta bantuan. Kemudian Amsu memperkenalkan diri dan orang-orang Jepang itu membawanya ke mobil.  “Ternyata di dalam mobil adal seorang jenderal Jepang. Saya memeriksa mobilnya, ada masakah yang sangat sederhana pada karburatornya. Dalam lima menit saya sudah bisa memperbaiki mobil tersebut,” tuturnya.

Jenderal Jepang itu ternyata seorang syuutyokan (gubernur) Jawa Barat. Dia sangat senang dengan hasil kerja Amsu dan memintanya untuk bergabung dengan pejabat tersebuta sebagai sopir. Maka dimulaikan perjalanan hidup Amsu sebagai sopir gubernur.

Ayah lima anak itu kemudian menunjukkan kepada wartawan surat-surat yang memperkuat   ceritanya. Setelah Jepang menyerah tahun 1945, dia menjadi pengemudi Gubernur Jawa Barat Mr. Mohammad Jamin atau lebih dikenal dengan panggilan Datuk Jamin.

Sopir gerilya

Karena kondisi keamanan, pada masa pemerintahan Datuk Jamin (Desember 1945-Juni 1946) pusat Pemerintahan Provinsi Jawa Barat harus berpindah-pindah, antara lain ke Kabupaten Tasikmalaya.  Amsu ikut keluar masuk hutan bersama gubernur, bergerillya di masa awal kemerdekaan RI.

Kemudian Amsu bergabung dengan Residen Priangan Ardiwinangun. Setelah Aksi Militer Belanda I tahun 1947, Amsu dipekerjakan sebagai sopir pejabat Recomba untuk Jabar, R.Hilman Jayadiningrat. Recomba kependekan dari Regeringscommissaris voor Bestuursaangelegenheden,  pemerintah darurat versi Belanda bentukan Gubernur Jenderal H.J. van Mook.

Pada tahun 1948, dia menjadi sopir  untuk Wali Negara Pasundan RAA Wiranatakusumah. Amsu  kemudian diizinkan tinggal di Gedung Pakuan bersama keluarganya. Dia merasakan hidup di rumah dinas gubernur. Setelah Negara Pasundan dibubarkan,  dia menjadi sopir Gubernur Sewaka dan selanjutnya menjadi sopir mobil dinas Gubernur Sanusi Harjadinata (1951-1956).

“Pekerjaan terberat yang harus saya lakukan dalam hari-hari pertama revolusi kemerdekaan adalah sebagai sopir  Gubernur Jamin. Tapi sekarang saya punya tugas lebih mudah untuk melayani Gubernur Sanusi. Dia orang baik, selalu memberi tanpa saya minta. Saya juga tahu apa yang harus dilakukan. Jika Anda tidak mempercayai saya, tanyakan sendiri padanya,” ucapnya.

Amsu tidak pernah berpikir untuk berhenti bekerja, meskipun dia sudah berhak mendapatkan pensiun sebagai sopir di dinas pemerintahan.  Amsu masih ingin bekerja dan berharap gubernur akan mempertahankannya untuk waktu yang lama. Dia mengklaim, gubernur tidak pernah mengalami masalah dengan mobilnya. “Tanya saja kepada Pak Gubernur jika tidak percaya,” tegasnya.

“Pak Karno dan Pak Hatta selalu memanggil saya Pak Gede juga. Senang sekali saya kalau Presiden datang ke Bandung, karena biasanya nain mobil yang saya kemudikan. Mobil saya paling depan, di antara barisan lima puluh mobil. Saya merasa seperti gubernur dari para pengemudi,” ujarnya tersenyum.

Anak tertua Amsu sekarang duduk di SMA. “Dia anak baik dengan nilai pelajaran yang bagus.  Dia pasti akan memiliki mobilnya sendiri nanti. Seorang anak laki-laki yang tampan, dan jika Anda tidak mempercayai saya, tanyakan saja pada gurunya,” kata Amsu menutup pembicaraan. (Enton Supriyatna Sind)***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: