Kamis, 28 Maret 2024

Sepenggal Kisah dari Penghuni Sel Nomor 5

DI tengah hiruk pikuk negeri ini dengan berbagai dinamikanya, situs sel Ir. Soekarno di bekas Penjara Banceuy di pusat Kota Bandung tampak kesepian. Sel nomor 5 itu hanya berukuran 2,5 x 1,5 meter dan berisi kasur lipat juga toilet nonpermanen. Keberadaannya menyempil dan dikepung bangunan pertokoan yang megah. Si Bung duduk sendirian dengan buku di tangannya.

Penjara Banceuy menjadi bagian dari saksi bisu sejarah perjuangan rakyat Indonesia. Di penjara ini, Bung Karno mendekam selama delapan bulan atas tuduhan pemberontakan dan dijerat pasal-pasal karet haatzai artikelen.

Saat itu, pada akhir Desember 1929, Soekarno yang menjabat Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) dijebloskan ke Penjara Banceuy bersama rekan seperjuangannya, R. Gatot Mangkoepradja (Sekretaris II PNI), Maskoen Soemadiredja (Sekretaris II Cabang Bandung), dan Soepriadinata (Anggota PNI Cabang Bandung).

Dalam ruangan pengap ini pula, Soekarno menyusun pidato pembelaan (pledoi), yang dibacakan pada sidang Pengadilan Hindia Belanda di Gedung Landraad (kini Gedung Indonesia Menggugat) di Jalan Perintis Kemerdekaan (dahulu Jalan Gereja). Pledoi dengan judul “Indonesie Klaagt Aan” (Indonesia Menggugat) pun menjadi terkenal.

Dengarkanlah Si Bung ini berkisah:

Banceuy adalah penjara tingkat rendah. Didirikan pada abad kesembilan belas, keadaannya kotor, bobrok dan tua. Di sana ada dua macam sel. Yang satu untuk tahanan politik, satu lagi untuk tahanan pepetek. Pepetak –sebangsa ikan yang murah dan menjadi makanan orang yang paling miskin- adalah nama julukan untuk rakyat jelata.

Pepetek tidur di atas lantai.  Kami tahanan tingkat atas tidur di atas pelbed besi yang dialas dengan tikar rumput setepal karton. Makannya makanan pepetek; nasi merah dengan sambal.

Segera setelah aku masuk, rambutku dipotong pendek sampai hampir botak dan aku disuruh memakai pakaian tahanan berwarna biru pakai nomor di belakangnya.

Rumahku adalah Blok F. Suatu petak yang terdiri dari 36 sel menghadap ke pekarangan yang kotor. 32 masih tetap kosong. Mulai dari ujung maka empat buah nomor yang berturut-turut telah terisi. Aku tinggal di nomor lima. Gatot tujuh. Esok paginya Maskun dan Supriadinata, dua orang wakil PNI lainnya, dimasukkan berturut-turut ke nomor sembilan dan sebelas.

Selku lebarnya satu setengah meter –separonya sudah terpakai tempat tidur- panjangnya betul-betul seanjang peti mayat. Ia tidak berjendela tempat menjenguk dan tidak berjerejak supaya bisa mengintip ke luar. Tiga buah dinding dari kuburanku adalah semen mulai dari lantai sampai loteng.

Bertemu Inggit

Setelah 40 puluh hari, barulah Bung Karno bertemu dengan Inggit Garnasih, istrinya.  Setelah empat puluh hari, aku diizinkan untuk pertama kali bertemi dengan Inggit. Sampai saat itu tiada hubungan apa pun juga. Bahkan surat pun tidak. Kami bertemu di ruang tamu. Jaring kawat memisahkan kami. Penjaga-penjaga berdiri di sekeliling menuliskan segala yang kami ucapkan.

Kami boleh berbahasa Indonesia atau Belanda, dan tidak boleh dalam bahasa daerah. Kami tidak boleh saling berpelukan. Itu terlarang. Dan yang kedua, bukanlah menjadi kebiasaan orang Timur. Isteriku hanya memandang ke dalam mataku dan dengan seluruh kasih yang dapat dicurahkannya ia berkata, “Apa kabar?”

Aku tersenyum dan berkata, “Baik, terima kasih.”

Apa lagi yang dapat kuucapkan? Demikian banyak yang harus dicurahkan, sehingga apa lagi yang dapat kuucapan? Dalam lima menit yang diberikan kepada kami, kami membicarajan bayangn gaib yang diperolehnya. Inggit senantiasa menjadi jimat bagiku. Ke mana saja aku pergi, dia turut. Akan tetapi kali ini adalah yang pertama kali ia tidak ikut denganku.

Dalam suasana yang sangat tidak nyaman itulah keduanya bertukar kabar masing-masing. Banyak hal yang ingin disampaikan Bung Karno, tetapi keadaan tidak memunkinkan. Demikian juga dengan Inggit, perempuan yang setia mendampinginya. (Enton Supriyatna Sind, mengutip dari Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams)***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: