Selasa, 19 Maret 2024

Seabad Perlawanan Rakyat Cimareme (Bagian 3-Habis)

Yayasan KH Hasan Arif (Yakha).

KABAR meninggalnya Haji Hasan Arif dan enam orang lainnya dalam sebuah pengepungan, menjadi perbincangan masyarakat. Terlebih lagi peristiwa tragis itu terjadi di depan mata Residen Priangan,  Bupati Garut dan pejabat pemerintahan lainnya.  Mereka tidak habis pikir, Bupati Garut membiarkan rakyatnya sendiri dibantai puluhan marsose. Padahal Hasan Arif dan pengikutnya tidak sedang mengancam jiwa siapa pun.

Pihak Belanda tidak mau dipusingkan dengan pertanyaan-pertanyaan warga ketika itu. Bahkan tindakan pemerintah tidak berhenti dengan kematian Hasan Arif. Penangkapan demi penangkapan dilakukan terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat dalam kasus tersebut.  Sebanyak 33 orang ditahan dan diadili dengan beragam hukuman.

Proses hukum itu dilangsungkan atas desakan yang berani dari dua anak Hasan Arif yaitu Julaiha dan Juhro. Mereka  mendatangi Istana Gubernur Jenderal di Bogor meminta para tahanan yang sudah dikurung berbulan-bulan itu disidangkan segera. Keduanya menekankan, kalau perlu sanggup ditembak mati menyusul ayah, suami dan saudara-saudaranya.

Penangkapan itu bukan karena kejadian pada 7 Juli 1919 saja, tapi juga melebar pada sangkaan keterlibatan dalam organisasi Syarikat Islam (SI) Afdeeling B. Organisasi ini, seperti diungkapkan Soe Hok Gie dalam buku “Di Bawah Lentera Merah” (1964), adalah gerakan rahasia yang menurut temuan pemerintah  bertujuan  untuk mengusir Belanda dan Tionghoa dari Indonesia.

Tuduhan tentang keterlibatan SI dalam kasus Cimareme, dibantah HOS Tjokroaminoto. Bukan saja tuduhan itu terlalu dini karena proses pengadilan belum dimulai, tapi juga tuduhan itu terkesan ingin mengalihkan dari isu pokok ke isu lain. Tepatnya, dari masalah pangan (beras) kepada isu lain yang berbau politik, yaitu pemberontakan dengan mengambinghitamkan kelompok Muslim, yaitu SI Afdeeling .

Rentang tahun 1915-1919 merupakan periode puncak SI di bawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto. Di masa yang bersamaan, kondisi ekonomi masyarakat semakin memburuk. Keadaan yang genting itu meletuskan peristiwa di sejumlah tempat. Sejalan dengan keberanian warga pribumi, maka gerakan politik Syarikat Islam di tengah masyarakat sering menimbulkan letupan protes dan aksi-aksi sosial berupa pemberontakan terhadap pemerintahan.

Pada 5 Juni 1919 terjadi pemberontakan di Toli-Toli, Sulawesi Tengah, yang mewakili keresahan umum dipicu oleh dua hal yaitu pajak dan kerja paksa. Sejumlah pegawai terbunuh yang salah satunya orang  Belanda.  Sebulan kemudian terjadi perlawanan warga Cimareme dengan isu utama penolakan jual paksa padi.

Terjadinya sejumlah konflik di beberapa daerah itu, kemungkinan yang membuat pemerintahan kolonial di Priangan bertindak represif dalam peristiwa Cimareme.  Mereka tidak ingin kejadian seperti di Toli-Toli terulang. Pengerahan petugas keamanan yang begitu banyak dan keterlibatan langsung para pejabat pemerintahan, menunjukkan kekhawatiran luar biasa.

Reaksi tokoh

Persidangan kasus Cimareme baru dimulai pada 22 Januari 1920. Selain di Garut, lokasi persidangan berada di beberapa tempat. Sedangkan tempat hukuman tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Sejumlah koran berbahasa Belanda memuat hasil liputan persidangan itu. Seperti halnya  Bataviaasch Nieuwsblad, De Sumatra Post, De Preanger Bode, dan Algemeen Handelsblad. Mereka menulisnya “De Garoet Zaak” (Kasus Garut) atau “De Tjimareme Zaak” (Kasus Cimareme).

Haji Gojali, menantu dan orang kedua Hasan Arif, divonis 15 tahun di Pulau Ai, Banda, Maluku Tengah.   Kemudian Atmaka, orang dekat Hasan Arif, dihukum lima tahunn di Sawah Lunto, Sumatera Barat. Lalu Haji Syamsuri dihukum di Glodok Jakarta, Angga divonis tiga tahun di Medan, Haji Achmad dihukum dua tahun di Jember Jawa Timur.

Sementara itu KH Muhammad Adra’i -yang disebut-sebut sebagai tokoh SI Afdeeling B dari Cipari- berhasil melarikan diri ke Jakarta dengan menyamar.  Kuat dugaan, kata Hiroko Horikoshi dalam “Kyai dan Perubahan Sosial” (1987), Adra’i pergi  Singapura dan  menghabiskan waktu di negara itu selama 20 tahun. Dia kembali ke Indonesia pada tahun 1951.

Vonis terhadap orang-orang yang dianggap kader SI Afdeeling B, dicurigai Iwa Kusuma Sumantri sebagai rekayasa pemerintah. Berpuluh orang yang ditangkap karena disebut sebagai anggota SI Afdeeling B itu dipaksa menandatangani proses verbal yang dibuat sendiri oleh alat-alat kekuasaan penjajah. Seolah mereka mengakui melakukan pemberontakan. Hal itu diungkapkannya dalam “Sejarah Revolusi Indonesia”.

Tindakan berlebihan pemerintah dalam kasus Cimareme telah menimbulkan reaksi dari para tokoh pergerakan, termasuk yang berada di Volksraad. Dwidjosewojo, wakil Budi Utomo di Volksraad, menyatakan, Hasan Arif dan pengikutnya telah ditembaki sebelum diadakan usaha yang cukup baik untuk menangkapnya tanpa pertumbahan darah. Dia protes terhadap Residen Priangan.

Sedangkan H. Agus Salim wakil SI di Volksraad menilai, peristiwa Cimareme merupakan akibat dari politik kekerasan pemerintah. Hal ini terbukti dari peristiwa Cimareme, terutama perintah Residen untuk menemnbaki oran-orang yang tidak berdaya, tidak menyerang dan  berkumpul dalam satu rumah. Peristiwa itu adalah halaman berdarah dalam politik pemerintah Hindia Belanda.

Dua anggota SI Garut, Muhamad Sanusi dan Itjok Adiwinata melakukan kritik pedas atas kesewenang-wenangan pemerintah dalam peristiwa Cimareme melalui sebuah buku berjudul Genjlong Garut (Gempar Garut).  Buku itu ditulis dalam bahasa Sunda dalam bentuk cerita yang disusun dengan kalimat-kalimat berirama atau dangding. Dicetak di Percetakan Galunggung Tasikmalaya. Namun sebelum buku tersebut tersebar luas, kata S. Achmad Somara, pemerintah menyatakannya sebagai buku terlarang. Baik penulis ataupun pengedarnya terpaksa berurusan dengan pihak keamanan.

Kehilangan kyai

Peristiwa Cimareme  ternyata berdampak cukup besar pada kehidupan pesantren-pesantren, tidak hanya di wilayah Garut, melainkan juga di wilayah lainnya terutama di lingkungan Keresidenan Priangan. Seperti ditulis Mohammad Iskandar dalam “Paradigma, Jurnal Kajian Budaya”  Vol 1 No. 1 (2010), banyak pesantren di wilayah itu yang kehilangan kyai atau gurunya karena dipenjara dengan tuduhan terlibat dalam SI Afdeeling  B. Tidak sedikit pula kader kiai yang semula akan di sekolahkan ke Unversitas Al-Azhar di Kairo Mesir, terpaksa membatalkan rencananya karena dicekal pemerintah.

Sebagai contoh, Yusuf  Tojiri dari Pesantren Cipari Garut yang terpaksa harus mengubur impiannya menjadi santri di Al-Azhar karena ayahnya, Kiai Haji Harmaen dipenjara sebab dituduh telah membantu gerakan Si Afdeeling B. Sementara dirinya harus tetap tinggal di Garut sebagai saksi. Padahal seperti kata Hiroko Horikoshi, meski mengetahui ada gerakan tapi Harmaen tidak ambil bagian.

Anak laki-laki Harmaen dan tiga menantunya dipenjarakan selama tiga setengah tahun di Sawah Lunto,  Bandung, Balikpapan, Medan dan Jember. Tiga belas penduduk lainnya di Cipari juga dipenjarakan dan selama dua tahun berikutnya laki-laki dewasa secara mencolok hilang di perkampungan. Di kemudian hari  Yusuf Tojiri muncul sebagai tokoh panutan.

Demikian pula nasib Pesantren di Nangkapait Cilame Garut, yang terpaksa kehilangan gurunya yaitu Kiai Muhammad Adra’i. Sementara Pesantren Genteng, terpaksa menghentikan kegiatan belajar mengajarnya karena panutan mereka Kiai Haji Ahmad Sanusi ditangkap dengan tuduhan telah membantu menyembunyikan Adra’i yang menjadi buronan polisi.

Meskipun kasus Cimareme menggemparkan dan demikian besar pengaruhnya pada masa itu, namun masyarakat masa kini tidak banyak tahu kisah heroik Hasan Arif dan pengorbanan para pengikutnya. “Bahkan Bupati Garut pun belum pernah ke sini. Padahal kita ingin ada semacam kegiatan yang dihadiri pejabat tinggi di Garut,  supaya masyarakat pun mengenal pahlawan daerahnya,” ujar Bahrul Alam (60), salah seorang buyut Hasan Arif. (Enton Supriyatna Sind)***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: