Selasa, 3 Desember 2024

Maulid Nabi dan Syair Barzanji

SETIAP bulan Rabi’ul Awal tiba, selalu tampak kesibukan yang menonjol di sebagian kaum Muslimin negeri ini. Mereka bersiap menyambut hari lahir sang panutan, Nabi Muhammad SAW, yang jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. Kegiatan ini lebih dikenal dengan sebutan maulid atau muludan. Masyarakat di setiap daerah memiliki cara tersendiri untuk merayakan kelahiran manusia agung tersebut.

Di Banten, misalnya, ribuan orang mendatangi kompleks Masjid Agung Banten yang terletak 10 km arah utara pusat Kota Serang. Mereka berziarah ke makam para sultan, antara lain Sultan Hasanuddin, secara bergiliran. Sebagian di antaranya berendam di kolam masjid itu untuk mendapat berkah. Ada di antara mereka yang sengaja mengambil air kolam tersebut untuk dibawa pulang sebagai obat.

Sementara di Cirebon, pada tanggal 11-12 Rabi’ul Awal banyak orang Islam datang ke makam Sunan Gunung Jati, salah seorang dari wali sanga, penyebar agama Islam di kawasan Jawa Barat dan Banten. Biasanya di Keraton Kasepuhan diselenggarakan upacara Panjang Jimat, yakni memandikan pusaka-pusaka keraton peninggalan Sunan Gunung Jati. Banyak orang berebut untuk memperoleh air bekas cucian tersebut, karena dipercaya akan membawa keberuntungan.

Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten. Istilah ini berasal dari kata shahadatain, yaitu pengakuan tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah. Kemeriahan serupa juga bisa didapati di Sumatra Barat, Aceh, Lombok, dan tempat-tempat lainnya di Indonesia.

Namun, selain perayaan maulid secara meriah dengan melibatkan massa dalam jumlah besar, berlangsung pula perayaan maulid di masjid-masjid kecil yang melibatkan sekelompok kecil masyarakat. Dalam rangkaian acara itu, baik yang akbar maupun biasa-biasa saja, ada satu sesi yang tidak pernah tertinggal bahkan seolah menjadi syarat penting, yaitu pembacaan karya tulis Kitab al-Barzanji. Lidah Sunda kemudian melafalkannya secara mudah menjadi “berjanji”.

Karya sastra

Barzanji adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.

Nama Barzanji diambil dari nama pengarang naskah tersebut yakni Syekh Ja’far al- Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Dia lahir di Madinah tahun 1690 dan meninggal tahun 1766. Barzanji berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd al-Jawahir (Kalung Permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad saw. Tapi kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.

Pada perkembangan berikutnya, pembacaan Barzanji dilakukan di berbagai kesempatan sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi, mencukur rambut bayi (akikah), acara khitanan, pernikahan, dan upacara lainnya. Untuk mendapatkan buku itu tidaklah sukar. Bahkan sekarang ini sudah banyak beredar dengan terjemahannya.

Biasanya di masjid-masjid di perkampungan, orang-orang duduk bersimpuh melingkar. Lalu seseorang membacakan Barzanji, yang pada bagian tertentu disahuti oleh jemaah lainnya secara bersamaan. Di tengah lingkaran terdapat nasi tumpeng dan makanan kecil lainnya yang dibuat warga setempat secara gotong royong. Pada sebagian masyarakat, pembacaan Barzanji juga dilakukan bersamaan dengan “diestafetkannya” bayi yang baru dicukur selama satu putaran dalam lingkaran.

Sementara baju atau kain orang-orang yang sudah memegang bayi tersebut, kemudian disemprot atau diberi setetes dua tetes minyak wangi. Namun saat ini perayaan maulid seperti itu sudah berkurang dan lebih terfokus di pesantren-pesantren kalangan Nahdlatul Ulama (Nahdliyin).

Kokohkan semangat

Menurut catatan sejarah, peringatan maulid Nabi Muhammad SAW pertama kali diperkenalkan seorang penguasa Dinasti Fatimiyah (909-117 M). Jauh sebelum al-Barzanji lahir dan menciptakan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Langkah ini secara tidak langsung dimaksudkan sebagai sebuah penegasan kepada khalayak, bahwa dinasti ini betul-betul keturunan Nabi Muhammad saw.

Peringatan maulid kemudian menjadi sebuah upacara yang kerap dilakukan umat Islam di berbagai belahan dunia. Hal itu terjadi setelah Abu Sa’id al-Kokburi, Gubernur Irbil, Irak, mempopulerkannya pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193 M).

Waktu itu tujuannya untuk memperkokoh semangat keagamaan umat Islam umumnya, khususnya mental para tentara yang tengah bersiap menghadapi serangantentara Nasrani dari Eropa pada episode Perang Salib yang terkenal itu.

Namun penyelenggaraan peringatan maulid Nabi Muhammad bukan tanpa masalah. Sepanjang sejarahnya, ada sikap pro dan kontra terhadap tradisi ini. Ulama mazhab Sayafi’i secara tegas mengungkapkan dukungan dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang sah-sah saja dilakukan.

Tapi ulama dari mazhab Maliki menandaskan penolakannya dengan berbagai argumentasi. Kedua pihak juga menyampaikan pemikirannya melalui kitab-kitab yang mereka tulis secara panjang lebar. Belakangan “kaum reformis” seperti golongan Wahabi pun menyatakan peringatan itu sebagai perbuatan mengada-ada (bid’ah).

Soal beduk

Perdebatan dan sikap pro-kontra sampai pula ke Indonesia. Tidak jarang perbedaan pendapat soal yang satu ini diteruskan dengan perang mulut atau saling ejek. Tema ini satu paket dengan soal tahlilan ketika ada yang meninggal atau doa qunut saat salat subuh. Bahkan di beberapa tempat merambah juga ke persoalan boleh tidaknya di masjid ada beduk. Pernah terjadi perbedaan pendapat soal beduk, mengakibatkan sejumlah kulit beduk dirobek pihak yang menolak keberadaan alat penanda waktu salat tersebut.

Jika dilacak lewat berbagai dokumentasi, selisih paham tentang peringatan maulid yang cukup tajam terjadi dalam rentang waktu sebelum tahun 1970-an. Pada era sekarang perbedaan itu tidak terlalu menonjol, namun tetap tidak sama sekali menghilang dari wacana kaum Muslimin. Secara sporadis muncul kritikan atas peringatan maulid Nabi di ruang terbatas. Salah satu sasaran kritik, adalah masuknya nilai-nilai lain yang justru dianggap akan merusak makna perayaannya sendiri. (Enton Supriyatna Sind)***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: