Kamis, 25 April 2024

Belanda Melihat Sunda. Bagaimana Menurut Kita?

Penerbit Layung

 

Saya menulis ini dalam rangka mempengaruhi Anda agar lekas-lekas memiliki buku ini. Saya sudah tuntas membacanya. Hasilnya? Saya mendapatkan ilmu sosial yang berharga.

BEBERAPA minggu sebelum mendapatkan buku “Puisi Sunda Zaman Belanda” ini saya melihat tayangan di laman Facebook Dr. Hawe Setiawan. Saya tidak terlalu tertarik dengan judulnya. Bukannya saya tak menghargai puisi, tetapi saya berpikir itu bukan buku skala prioritas yang harus diburu.

Dua hari kemudian Dr. Hawe Setiawan tiba-tiba masuk ke rumah saya. Bangun tidur siang saya diberikan buku itu, kemudian saya membaca kata pengantarnya. Saya terperangah karena buku karya orang Belanda Tom van den Berge bukan kumpulan sajak, melainkan karya ilmiah tentang kehidupan masyarakat Sunda dengan pendekatan ilmu pengetahuan — kombinasi epistemologi ilmu sosial sekaligus tentang kisah-kisah praktik lapangan Orang Belanda di Priangan. Dijelaskan pula bahwa di dalamnya menyertakan paradigma etnografi. Terbaca juga bahwa sosok orang Belanda yang dimaksud lebih jelas, sebagai orang yang membawa misi kebaikan, satunya misi wirausaha pertanian, satunya lagi misi agama, dan satunya lagi misi pendidikan.

Adapun tentang puisi ternyata hanyalah bagian dari objek penelitian. Selebihnya merupakan urusan adat-istiadat, pola hidup, pola pikir dan serangkaian urusan masyarakat Sunda terutama Priangan) berhubungan dengan Setan, Tuhan, Raja, Alam, Budaya, Sastra, Sikap Politisi, Pertanian, Pendidikan, Wirausaha dll.  Hal yang paling menawan adalah bahwa dari serangkaian topik tersebut, etos hidup menjadi bagian paling dominan.  Ini penting buat wawasan kita.

Beberapa topik pembahasan itu, oleh penulisnya disertakan ulasan cara pandang orang Belanda dari tiga perbedaan latarbelakang dengan kepentingan yang berbeda, yaitu Tuan Kebun, Misionaris, dan Ilmuwan.

Setelah mengetahui arah buku ini, saya lantas bertanya kepada Penerjemahnya (Dr. Hawe Setiawan), “Apa gerangan engkau mengurus buku ini?”

“Lho, ini menarik karena urusannya berkaitan dengan sejarah masyarakat. Makanya aku terjemahkan. Aku hubungi penulisnya, berkorespondensi. Nekad aku terbitkan sendiri ke anak-anak Penerbit Layung. Biar sekalian belajar mengurus naskah. Dicetak 300 eksemplar aku biayai sendiri,” begitu kata Pak Budayawan asal Subang itu bercerita kepada saya, beberapa waktu lalu.

Salut! Ternyata Dr Hawe kalau sudah urusan ilmu memang militan. Saya juga bersimpati kepadanya tentang kemampuan luar biasa belajar bahasa Belanda secara otodidak dan teruji pula sebagai penerjemah bahasa Belanda. Namun begitu, serta-merta saya harus mengapresiasi dengan cara lain; bahwa perilaku bekerja menerjemahkan tanpa ada yang membiayai itu mulia. Kemudian membiayainya sendiri juga perbuatan luhur. Tapi nyetak terbatas 300 eks itu terang merupakan penanda laku intelektual miskin. Wakakak…..

Baiklah. Karena saya sudah meledek, cara menghapus dosanya ialah dengan cara membeli buku itu sebanyak mungkin. Juga mendorong teman lain yang barangkali punya duit untuk belanja buku ini dan membagikannya kepada teman-teman yang lain. Ini bukan semata urusan jual-beli, melainkan urusan ilmu pengetahuan.

Kembali pada buku ini……

Bahwa ada perkara di masa lalu itu sungguh harus dilihat secara jernih. Apalagi kami berada di Yayasan Odesa Indonesia, tempatnya para intelektual berkiprah urusan sosial dengan menganut mazhab etnografi. Tentu saja buku ini mesti dilihat sebagai cara membaca zaman karena kami sedang mengurai persoalan hidup masyarakat kekinian. Dan seperti biasa, kekinian itu tak akan terpisah dari “kelamaan”.

Sekalipun hari ini kontras berbeda dengan hari kemarin, tetapi ada banyak juga yang masih sama. Kalau kesamaan itu pada urusan kebaikan tentu saja itu menggembirakan karena kita bisa memanfaatkannya sebagai aset pembangunan. Sebaliknya, jika kesamaan itu pada keburukan tentu juga harus menjadi persoalan yang mesti kita carikan jalan keluar agar kita tidak masuk dalam kutukan “takdir historis”.

Kita membicarakan etos hidup orang Sunda Priangan dari karya sastra. Puisi menjadi objek utama dari penulisnya, Tom Van den Berge; dari sebuah kepentingan penelitian untuk disertasi tahun 1988. Karena objeknya (puisi) bisa menjadi sangat terbatas untuk mengurai persoalan tradisi yang lebih luas, penulisnya bersikap bijak (berhati-hati) dengan cara menyampaikan ruang lingkup (konstruksi pembacaan) atas teks.

Yang pertama tentang fungsi puisi itu sendiri. Di bagian Pendahuluan dijelaskan perbedaan fungsi puisi dari ragam bangsa. Dari cara mendudukkan “sebagaimana mestinya” itulah kerangka pembacaan atas puisi Sunda yang dipilih antara tahun 1912 hingga 1942 dibahas. Anda bisa membacanya konstruksi tentang hakikat sastra lebih lajut dalam buku ini.

Semua puisi dalam buku ini penting dibaca, tetapi menurut saya, letak fenomenalnya buku ini adalah penyertaan ulasan dari tiga jenis orang yang membuka tiga wawasan. Pertama dari “Tuan Kebun”, Kedua dari “Misionaris, dan ketiga dari “Ilmuwan”.

Tiga cara pandang inilah yang menjadi pangkal untuk kita melihat realitas manusia Sunda (terutama Priangan). Orang Belanda dengan latar belakang yang berbeda memperkaya kita pada dua hal.

Mendapat pandangan dari cara menilai suku bangsa lain. Karena cara pandang adalah sebuah ilmu, maka munculnya perbedaan perbedaan cara memandang itu bagi saya merupakan kekayaan. Adapun ketika cara pandang itu menyingkapkan hal-hal yang barangkali tidak mengenakkan, kita pun harus berlapang dada untuk memakluminya atas “cara pandangnya”.

Ilmu pengetahuan memang bisa berurusan dengan salah dan benar. Karena relatif atau subjektif itulah kita mesti bisa memanfaatkan sebagai ladang galian dengan mengutarakan pertanyaan; “mengapa orang tersebut menilai demikian?” “Benarkah hal tersebut?” juga bertanya, “Apakah dengan menghubungkan laku hidup dengan suku bangsa itu tidak rasis?” bisa juga diperluas dengan pertanyaan; “Apakah suku bangsa sunda dalam pandangan orang-orang belanda itu juga berlaku bagi etnis lain?”.

Kekayaan kedua adalah, bahwa dalam kebudayaan hidup manusia masalah rendah dan tinggi sebuah budaya memang merupakan topik yang kontroversial sekaligus memiliki dasar. Segenap ukuran harus kita kerahkan untuk mengukur. Dengan pengukuran itulah kita bisa berharap mendapatkan kebijaksanaan. Salahsatu sikap bijaksana adalah mengakui jika ada dalam diri kita yang kurang. Sadar akan kekurangan adalah sikap terbaik untuk langkah selanjutnya memunculkan strategi menghasilkan “nilai tambah.”

Saya tinggal di Bandung melampaui 15 tahun dan berinteraksi secara kultural baik di kota Bandung maupun di pinggiran kota Bandung. Setiap tahun juga selalu menyempatkan mengenali masyarakat Sunda di beberapa kabupaten baik yang pedalaman maupun pesisir. Saya punya pemahaman atas realitas tersendiri dari cara pandang saya baik dari latar hidup saya sebagai orang berlatarbelakang kultural Jawa pedalaman di Temanggung Jawa Tengah, maupun cara pandang saya dengan ilmu pengetahuan yang saya miliki.

Setelah membaca buku ini bagaimana?

Pesan-pesan yang ada dalam puisi maupun cara pandang orang Belanda itu sebagian masih terjadi dalam lapangan kehidupan masa kini, terutama pada masyarakat di desa-desa yang modernisasinya kurang cepat. Ada banyak kisah lalu yang irisannya berkaitan dengan problem saat ini.

Pada lapisan atas misalnya, perilaku kaum borjuasi politik (politisi) kita sekarang kebanyakan “mewarisi” laku politik masa lalu yang hobi menampilkan sisi pencitraan ketimbang kerja nyata. Di masa lalu tidak semua bupati atau politisi berlaku demikian. Di masa sekarang juga tidak. Tetapi ada satu fakta bahwa laku tersebut mendominasi sehingga tidak salah jika kesan yang paling terlihat adalah sisi tersebut.

Ada juga contoh lain. Perilaku kelas menengah, termasuk yang mendapatkan pendidikan tinggi cenderung menjadi borjuis pasif. Banyak ilmu tetapi lemah dalam komitmen menjadi pendamping rakyat. Bahkan jabatan yang didapat pun bukan untuk alat perjuangan, melainkan tempat nangkring. Kekuasaan dinikmati sebagai cara hidup. Akibatnya tidak mendapatkan kehormatan sebagai orang yang mulia karena menahkodai perubahan sosial. Tentu juga yang demikian ini tidak berlaku pada setiap orang Sunda, melainkan juga terjadi pada orang non Sunda yang hidupnya hanya dihabiskan untuk melayani kesuksesan keluarganya sendiri, alias hanya berjuang sebatas urusan rumah tangga (oikos), dan belum menjadi pejuang warga (demos). Padahal kita tahu kebutuhan menegakkan pendidikan di pinggiran kota, terutama di pedalaman-pedalaman merupakan langkah yang tak bisa ditawar. Seberapa beratnya pun kita harus menanggung, bukan menghindari. Bukan pula terus berdebat, melainkan mesti bertindak nyata secara telaten sepanjang hayat.

Saya kita penting pula menekankan bahwa kaum terpelajar di Jawa Barat ini, baik yang bersuku bangsa Sunda, “setengah Sunda” maupun bukan orang Sunda lebih banyak melakukan tindakan-tindakan baru untuk sebuah kemajuan. Bicara kemajuan, berarti urusannya dengan keterbelakangan. Dan keterbelakangan bukanlah bersifat tunggal; katakanlah, semua pasti terbelakang. Pada suku bangsa lain keterbelakangan juga berserakan. Dan karena itu semua kelas menengah (terutama kaum intelektual) punya tanggungjawab kemanusiaan untuk menawarkan agenda perubahan dengan tindakan-tindakan nyata.

Itulah mengapa kami mendirikan Yayasan Odesa, termasuk salahsatu pendirinya adalah Sang Penerjemah Buku ini, semata untuk merealisasikan kewajiban sebagai kaum kelas menengah. Itulah mengapa kami berhimpun bersama melintas golongan karena kita sama punya tugas untuk merealisasikan pembangunan, membentuk kebaikan-kebaikan baru yang fokusnya adalah membangun kemajuan di bidang pertanian dengan menekankan pembangunan kapasitas warga petani.

Dan rakyat di lapisan bawah, terutama di pinggiran kota serta desa-desa sungguh membutuhkan banyak orang berperan baik karena bagaimapun kita harus meyakini sebuah rumus; bahwa negara bangsa itu hanya akan tangguh kalau warga sipilnya tangguh. Untuk menjadi bangsa tangguh pendidikan harus canggih. Pendidikan yang canggih adalah pendidikan yang mampu membekali generasi guna menjawab problem hidupnya, syukur-syukur mampu menjawab problem orang lain. Syukur-syukur pula mampu memprediksi problem yang akan datang sehingga kita bisa mengatasinya sebelum problem itu muncul.

Selain masalah keterbelakangan (dari sudut pandangan Orang Belanda tentunya) penting kita simak bersama tentang peluang-peluang kemajuan pada masyarakat. Sebutlah potensi keunggulan orang Sunda yang menonjol dalam “keluwesan” dan “kebaikan”.  Dua potensi keunggulan yang disampaikan Karel Frederik Holle ini mengharuskan saya bertanya.  Kalau pada keluwesan mudah ditemukan dalam cara orang Sunda saat berhubungan dengan orang lain.  Tetapi pada kebaikan, rasanya saya harus menggali lebih dalam. Saya menunggu eksplorasi dari Anda tentang apa saja potensi kebaikan yang nyata bisa menjadi bagian dari usaha memajukan sumber daya manusia tersebut. Apa saja kebaikan itu? Bagaimana sebuah kebaikan itu bisa memperbaiki keadaan yang lain? Bagaimana strategi memulainya?

Ada pula optimisme Cornelis Marinus Pleyte (Direktur Seksi Purbakala Rijksmuseum) yang berpendapat bahwa “Orang Sunda “yang secara intelektual sama sekali bukannya kurang berbakat” dapat dilatih menjadi pedagang atau pemilik pabrik,-jika ia berniat menjadi orang yang cakap. Industri dan kerajinan orang Sunda seharusnya tidak dibiarkan berjalan secara artifisial, melainkan perlu ditumbuhkan. Kebolehan mereka mungkin merupakan fenomena menarik dari sudut pandang etnis, tetapi sama sekali tidak berharga dari sudut pandang ekonomi. Industri yang berjalan sejauh itu tidak memiliki masa depan di pasar dunia….” Pleyte menawarkan bahwa pendidikan skill sangat penting untuk menghadirkan tahapan-tahapan pemajuan sumber daya manusia ini. Dan sastra, atau literasi mestinya mengedepankan semangat untuk reproduksi norma dan nilai untuk hal tersebut.

Pendidikan…..pendidikan…..pendidikan. Sebab:

“Lagi pula sekiranya engkau, cantik

Telah pandai menerima pengajaran

Janganlah digenggam semata

Harus sayang kepada lain orang

Yang belum berilmu

Sudi mengajar membimbing

Menuntun langkah si pandir

Tentulah ada manfaatnya

Lebih berguna ketimbang beradu politik

Bercakap kemerdekaan.” [hlm 119]

 

“Sekarang saudara sekalian

Haruslah erat menyatu

Seiring sejalan

Seia sekata

Jangan saling menonjolkan diri

Hidup tak saling peduli. “ [hlm 131]. (Faiz Manshur).***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: