Jumat, 29 Maret 2024

Abai pada Budaya Lokal, Revitalisasi akan Gagal

Dr. Yudi Latif

BANDUNG.- Cerlang budaya lokal (local genius) yang masih bertahan, harus dirawat sebagai khasanah dari kebudayaan nasional. Jika tidak, maka bangsa ini tidak akan mampu melakukan revitalisasi. Pengalaman menunjukkan, hanya bangsa yang mampu merawat kearifan lokal, yang akan bisa membalik budaya global dan unggul di tengah berbagai budaya dunia

“Lihatlah Jepang. Mereka menjadi negara maju, dengan tidak mengabaikan budaya lokalnya. Kearifan mereka terjaga dan berkembang dengan baik. Demikian juga dengan Korea dan India, mereka sangat menjaga warisan kearifan lokal mereka,” kata cendekiawan Dr. Yudi Latif pada webinar ”Refleksi Kebangsaan Akhir Tahun 2020”, Minggu (27/12/2020).

Pada acara yang digelar Panitia Kongres Sunda itu, sebagai pembicara kunci Ketua DPD RI AA LaNyalla M. Mattalitti. Sementara penanggap adalah sejumlah anggota DPD RI, yaitu Alirman Sori (Sumatra Barat), Anak Agung Gde Agung (Bali), Sylviana Murni (Jakarta), Philip Wamahma (Papua Barat),  Fachrul Razi (Aceh), GKR Hemas (Yogyakarta), Eni Sumarni (Jawa Barat) dan Sultan Bachtiar Najamudin (Bengkulu).

Menurutnya, bangsa Indonesia bukan konsumen dari budaya dunia, bukan pesakitan dari budaya dunia, melainkan ahli waris budaya dunia yang akan meneruskannya dengan caranya sendiri.  “Kearifan  lokal terlalu berharga jika tidak dikembangkan. Misalnya, kalau tidak punya kemampuan merawat budaya lokal, maka akan cenderung terjadi satu arah. Dari berbagai arah akan menerpa kita, menghabisi apa yang ada pada kita,” tuturnya.

Negara-negara yang mampu merawat cerlang budayanya, lanjutnya, bisa membalik globalisasi. Misalnya film-film produksi India dan Cina membanjiri dunia. Demikian pula dengan K-Pop dari Korea. Hal itu terjadi karena mereka bangga dengan warisan lokalnya. Kemudian dengan inovasi teknologi disebar ke seluruh dunia.

Menurut Yudi Latif, ketika barat mau melakukan renaisans, mereka balik dulu ke beklakang dengan menghargai warisan tradisi budaya di Athena dan Romawi. Begitu juga Jepang dan lainnya. “Kalau kita tak mampu merawat warisan budaya lokal, tidak akan punya kekayaan kultural untuk bisa membalik globalisai. Selamanya akan menjadi pelengkap penderita,” ujar aktivis Aliansi Kebangsaan ini.

Kebesaran dan keragaman

Usaha kebudayaan diarahkan untuk mempertinggi mutu budaya, mutu peradaban dan mutu persatuan. Jadi, elemen lokal, dipertahankan sebagai budaya nasional sejauh bisa memperkuat mutu peatuan, peradaban dan kebudayan. Tapi kalau memecah belah persatuan, tidak usah diteruskan. Sebab hanya akan memelihara konflik di masa lalu.

Mengutip ungkapan Bung Hatta, Yudi mengungkapkan, Indonesia adalah sebuah nama yang  menyiratkan keluasan, kebesaran dan keraganan. Maka ketika nama Indonesia diseru, harus selalu ingat Indonesia itu luas wilayahnya, begitu majemuk penduduknya.

“Maka siapa saja yang ingin memimpin Indonesia, mengurus Indonesia, harus memiliki mental seakan-akan seluas Indonesia. Memiliki kekayaan rohani sebanyak dan semajemuk bangsa Indonesia,” ujarnya.

Mereka yang mentalnya cetek, kekayaan rohaninya sempit, jangan coba-coba menjadi wakil rakyat, jangan coba-coba jadi pemimpin republik ini. “Boro-boro melayani rakyatnya, yang dipikirkan bagaimana caranya bisa mengambil sesuatu dari negaranya,” kata Yudi Latif lagi. (Sup)***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: