Jumat, 26 April 2024

Ancaman Krisis Pangan dan Leuit Warga Baduy

Leuit di Baduy. Foto: dispar.lebakkab.go.id

SEJUMLAH pakar dan kalangan pemerintahan menyebutkan tentang ancaman terjadinya krisis pangan pada tahun 2021. Prediksi tersebut muncul dipicu  kabar adanya sejumlah negara yang akan menghentikan ekspor pangan ke Indonesia. Dalam kaitan itu isu beras boleh jadi akan menjadi isu penting.

Ketika masyarakat luas ribut tentang isu krisis pangan, impor beras atau harga kebutuhan pokok naik, warga Baduy di pedalaman Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kab. Lebak, Banten, menjalani hidup seperti biasa, tidak ubahnya seperti garis datar. Adem ayem.

Di kesunyian hutan berpepohonan tua itu, mereka menikmati hari-hari dengan senikmat-nikmatnya, menyantap nasi dengan lahap dan bekerja keras seperti lazimnya. Tidak ada yang mengeluh soal kesulitan makan dan berbagai hal tentang kebutuhan materi.

Belum ada orang Baduy yang kelaparan atau busung lapar gara-gara tidak punya beras. ”Di dieu mah kabeh oge dahar sangu. Orok wungkul nu teu dahar sangu mah,” kata Jaro Saidi, salah seorang tetua Baduy beberapa waktu lalu. (Di sini semuanya makan nasi. Cuma bayi yang tidak makan nasi).

Orag Baduy memang masyarakat mandiri. Tapi jangan sangka mereka tak bertransaski ekonomi dengan dunia luar. Sepanjang memungkinkan, mereka membeli beras dari luar wilayahnya. Jika harga beras sudah di luar kemampuan, mereka berhenti membeli beras. “Eureun bae tong meuli beas. Naon hesena,” kata Saipan, warga Kampung Kaduketug enteng. (Berhenti saja jangan membeli beras. Apa susahnya)

Cara lain yang mereka lakukan berpuasa semampunya atau mengurangi jatah makan. Kalau keadaannya sudah tidak lagi memungkinkan untuk itu, maka orang-orang Baduy akan berpaling ke leuit. Leuit adalah bangunan serupa rumah tapi lebih kecil ukurannya, tempat menyimpan padi hasil ngahuma (menanam padi dengan cara berladang).

Setiap keluarga memiliki leuit. Semakin tinggi status sosial ekonominya, semakin banyak leuit yang dimiliki keluarga tersebut. Bagi mereka leuit adalah tabungan yang sangat berarti. Dengan teknologi yang dimilikinya, orang Baduy menjadikan leuit tidak bisa dimasuki tikus dan sejenisnya. Bangunan ini tidak berjendela, hanya ada dua pintu kecil. Pintu sebelah atas untuk memasukkan padi dan yang di bawahnya untuk mengambil padi.

Kemungkinan terburuk

Orang Baduy dikenal sangat hemat dan pandai menjaga persediaan pangan mereka. Berapapun banyaknya padi dalam leuit miliknya, warga Kanekes tetap berupaya membeli beras dari luar wilayahnya sepanjang memiliki uang. Setidaknya ada dua tujuan penting mengapa mereka melakukan hal itu.

Pertama, agar hubungan sosial ekonomi dengan warga di luar wilayah adat Kanekes tetap terpelihara. Selain itu, untuk kebutuhan lauk pauk seperti ikan asin, mereka tetap harus membeli di Pasar Ciboleger, pasar terdekat.

“Tapi, ulah maksakeun meulian beas ti luar, lamun matak ngabeuratkeun mah. Di leuit oge loba keneh ieuh pare mah,” tutur Narja, tetangga Saipan. (Jangan memaksakan membeli beras dari luar kalau memberatkan. Di leuit juga banyak persediaan padi).

Kedua, orang Baduy menjadikan leuit sebagai persediaan pangan menghadapi kemungkinan paling buruk dalam perekonomian mereka. Jika isi leuit tidak lagi penuh, itu alamat tidak baik bagi mereka. Akan terjadi instabilitas dalam kehidupan warga Baduy. Karena itulah, jumlah leuit pun terus bertambah dan lebih banyak dari jumlah rumah tinggal mereka.

Jangan heran, kalau suatu ketika disuguhi makan di rumah orang Baduy, lalu tuan rumah berkata bahwa beras merah yang disantap dengan ikan asin bakar itu usianya mungkin telah puluhan tahun. Hal itu sebagai bukti betapa lamanya padi tersimpan dalam leuit.

Selain leuit yang dimiliki secara individual, terdapat pula leuit yang dimiliki secara komunal. Mungkin kira-kira sama dengan koperasi. Menurut cerita mereka, di leuit itu ada padi yang usianya sudah mencapai ratusan tahun. Leuit serupa itu terdapat di Baduy Jero yakni di Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ketiga tempat itu berdiam para puun (pemimpin tertinggi masyarakat Baduy).

Beras hasil jerih payah mereka warnanya merah, sementara beras “impor” warnanya putih. Mereka sadar betul, menanam padi dengan sistem pengairan guludug (hujan tahunan), pola panennya tidak sama dengan padi sawah irigasi. Karena itu, tidak cara lain kecuali menghemat penggunannya jika ingin tetap hidup.

Untuk hidup hemat dan bersahaja, tidak perlu menjadi orang Baduy. Tidak perlu hidup di dalam hutan yang jauh dari pergaulan zaman yang sudah maju. Cukup saja mengambil spirit dari kearifan lokal yang mereka jalankan selama ini.   (Enton Supriyatna Sind)***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: