PADA tahun 21 Hijriyah, Khalifah Umar bin Khattab mengutus Abu Hurairah sebagai gubernur di Bahrain. Beberapa waktu kemudian Umar mendengar laporan tentang perilaku sang gubernur yang gemar menumpuk kekayaan pribadi. Maka dua tahun kemudian Umar memecatnya dan memanggilnya pulang.
Terjadilah dialog yang menarik. Umar berkata: “Wahai Musuh Allah. Ketika aku serahkan kepemimpinan atas Bahrain, engkau berjalan tanpa menggunakan sandal, dan sekarang ini aku mendengar engkau telah membeli kuda dengan menghabiskan uang sebesar seribu enam ratus dinar. Engkau telah mencuri harta Allah!”
Mantan gubernur itu menjawab: “Aku tidak mencurinya, karena harta yang aku dapat itu merupakan hasil pemberian orang-orang terhadapku!” Mendengar jawaban tersebut, Umar marah dan memukulnya dengan pecut pada bagian punggungnya hingga berdarah. Kekayaan mantan gubernur yang mencapai sepuluh ribu dinar itu disita, lalu diserahkan ke baitulmal.
Kisah tersebut cukup masyhur dan terdapat dalam kitab-kitab sejarah klasik. Kisah itu menunjukkan, sejak dulu kekayaan pejabat pemerintahan memang menjadi persoalan sensitif. Karena posisinya sangat berkaitan dengan kebijakan publik dan penggunaan anggaran negara. Kontrol memadai dibutuhkan agar tidak ada kebijakan pemerintah yang menyimpang dan merugikan rakyat banyak.
Apa yang dilakukan Khalifah Umar adalah bentuk pertanggungjawaban seorang pemimpin. Dia tahu betul bagaimana kondisi ekonomi aparat yang diangkatnya jadi pejabat, berapa kekayaan yang wajar dimilikinya saat menjabat, dan apa yang seharusnya dilakukan jika kekayaan itu melampaui batas kepatutan.
Kekayaan membengkak
Al-Mas’udi seperti dikutip sejarawan terkenal Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya, menulis cukup terperinci kekayaan sejumlah pejabat yang membengkak di zaman Khalifah Utsman bin Affan. Masyarakat saat itu ramai memperbincangkannya. Namun sayang, tidak ada lagi ketegasan pemimpin seperti Umar bin Khattab.
Misalnya, ada seorang pejabat yang menyimpan di lemarinya uang sebanyak 150.000 dinar dan 1.000.000 dirham. Ada pula yang memiliki uang 50.000 dinar, 1.000 ekor kuda, 1.000 budak, dan kebun luas di Basrah, Kufah, Mesir dan Iskandariyah. Rumah-rumah mewah pejabat berdiri di mana-mana.
Hadiah yang diterima sang gubernur tadi mungkin dikategorikan gratifikasi, suap atau sejenisnya. Ternyata, sejak dulu pemberian seperti itu menjadi sesuatu yang haram diterima pejabat. Dulu, dalam tata administrasi yang masih sederhana, tindakan tegas bisa segera dilakukan. Sementara sekarang, di zaman semakin banyaknya orang pintar, tindakan tegas semakin sulit diterapkan.
Di Tanah Air tercinta ini, begitu banyak instrumen kontrol diadakan sebagai upaya mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Bahkan setiap pejabat pemerintahan wajib melaporkan kekayaannya. Namun kita tidak tahu, pengawasan dengan cara serupa itu berjalan efektif atau tidak.
Diadakannya berbagai kontrol, bukan berarti pejabat dilarang kaya. Tetapi secara tidak langsung memberi panduan, bahwa setiap kekayaan pejabat harus jelas cara memperolehnya, tidak gelap asal-usulnya, dan bisa diuji dengan parameter umum. Tujuannya tentu saja baik, untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kecurangan. (Enton Supriyatna Sind)***