Kamis, 25 April 2024

Korupsi, Diingatkan Kitab Suci Dicatat Prasasti

Prasasti Rumwiga II. Foto: spkt.kemdikbud.go.id

PERBUATAN korup atau kasus korupsi, mungkin termasuk perbuatan setua umur manusia.Tersebutlah Negeri Madyan. Penduduknya korup dan penipu, sering mengurangi takaran dan timbangan dalam jual beli. Tuhan mengutus pada kaum itu seorang nabi bernama Syu’aib. Sang Nabi mengajarkan kepada mereka tentang kejujuran, termasuk dalam berniaga.

Namun penduduk Madyan arogan, mendebat, keras kepala, dan menentang dengan seribu alasan. Syu’aib tidak digubris. Maka Tuhan mendatangkan bencana gempa bumi, petir menyambar. Demikian pula dengan penduduk Aykah yang berperilaku serupa, disapu awan panas.  Kaum di dua negeri itu musnah.

Betapa kerasnya pelajaran yang diberikan Tuhan untuk menegakkan kejujuran dan larangan korupsi. Kisah itu termaktub dalam Alquran. Kitab suci tersebut juga memperingatkan, “Jangan mengurangi timbangan untuk menipu (QS 6 – Al An’aam : 152).

Kisah-kisah korupsi bukan hanya tercatat dalam kitab suci, tapi juga disimpan dalam bentuk prasasti. Kerajaan Mataram Kuno antara lain yang memahatkan informasi tersebut.  Prasastinya dikenal sebagai Prasasti Rumwiga. Tentu sebagai catatan sekaligus pelajaran bagi generasi berikutnya.

Menurut Machi Suhadi dalam makalahnya, Prasasti Rumwiga,  Prasasti Rumwiga I dan Rumwiga II yang berupa lempeng tembaga ini ditemukan di Desa Payak, Kecamatan Srimulyo, Kabupaten Bantul, Jawa Tengah pada tahun 1981. Sekarang disimpan di Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Daerah lstimewa Y ogyakarta di Bogem. Tulisan Machi hanya berupa transkripsi dan terjemahan, dimaksudkan sebagai bahan informasi bagi kalangan di luar peneliti.

Sementara Listyanto Aji Nugroho, Emy Wuryani dan Sunardi melakukan penelitian dengan penerjemahan yang sudah dinarasikan sedemikian rupa. Kemudian disajikan dalam tulisan Kebijakan Penguasa Jawa Kuno: Balitung Dalam Sebuah Kajian Efigrafi dan dimuat di Jurnal Cakrawala. Ketiganya dari Pendidikan Sejarah, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa  Tengah.

Pungutan liar

Raja Balitung merupakan raja Mataram kuno, naik takhta pada 898 M dengan seorang Mahamantri yang bernama Rakryan I Hino Cri Daksottama.  Salah satu prasasti yang mereka teliti adalah Prasasti Rumwiga II.  Prasasti Rumwiga berisi tentang para tetua desa Rumwiga yang pergi menghadap ke Samgat Momaḥ Umaḥ. Keperluan mereka untuk memohon anugerah pembebasan pajak.

Mereka merasa tidak mampu untuk membayar pajak yang dikenakan kepada desa mereka. Pada saat pengajuan permohonan itu, Samgat Momah Umah melakukan “pungutan liar” dengan dalih untuk biaya administrasi berupa perak sebanyak 4 kati. Permohonan warga itu akhirnya diusulkan kepada Rakryan Mahamantri I Hino.

Namun Mahamantri ini jeli dan tahu persis kondisi wilayahnya. Desa Rumwiga tidak seharusnya dibebaskan dari pajak. Rakryan Mahamantri I Hino kemudian mengutus beberapa pejabat untuk melakukan penyelidikan. Ternyata setelah diselidiki, diketahui kemudian para tetua desa Rumwiga itu dikenai pungli oleh Samgat Momaḥ dan masuk ke kantong pribadi.

Samgat Momaḥ juga berpontensi menyebabkan kerugian kerajaan, jika desa Rumwiga benar-benar dibebaskan dari pajak. Setelah penyelidikan selesai, Rakryan Mahamantri I Hino menaikkan jumlah pajak kepada penduduk Desa Rumwiga sebagai hukuman. Rakryan juga berpesan bahwa untuk mengajukan keringanan pajak ada prosedur yang harus dilewati dan atas persetujuannya.

Masyarakat tidak boleh berlaku curang dengan cara menyuap petugas untuk mendapat keringanan pajak. Akhirnya pejabat Samgat Momaḥ umaḥ diberhentikan dari jabatannya dan mendapatkan hukuman sampai ke keturunannya. Namun tidak diketahui hukuman apa yang dikenakan. (Enton Supriyatna Sind)***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: