Kamis, 28 Maret 2024

Para Pebisnis di Senayan

Marepus Corner

SETELAH DPR RI mengesahkan UU Cipta Kerja pada tanggal 5 Oktober 2020, sorotan kepada lembaga legislatif semakin tajam. Publik menganggap DPR tidak peka terhadap aspirasi masyarakat. Para wakil rakyat dinilai lebih memihak pengusaha ketimbang para pekerja. Berbagai tudingan diarahkan kepada DPR dan tentu saja pihak eksekutif. Unjuk rasa merebak di mana-mana dengan tema yang sama: menolak kehadiran UU Cipta Kerja

Dalam situasi seperti itu, Marepus Corner merilis hasil penelitian bertajuk  Peta Pebisnis di Parlemen Potret Oligarki di Indonesia, Jumat (9/10/2020). Dalam soft launching hasil  penelitian itu, Defbry Margiansyah, salah seorang dari enam peneliti, memaparkan temuannya. Sepintas seperti disimpulkan, kegaduhan hari ini tidak lepas dari fenomena oligarki di Senayan.

Seperti dikatakan Jeffrey A. Winters, oligarki adalah politik pertahanan kekayaan;  harta/properti dan pendapatan, oleh oligark/individu yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi sumber daya material untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan poisisi sosial eksklusifnya. Jeffrey  adalah ilmuwan politik dari  Universitas Northwestern AS, spesialis dalam studi oligarki. Banyak menulis tentang Indonesia dan oligarki di AS.

Jumlah anggota DPR periode 2019-2024 sebanyak 575 orang, yang datang dari  sembilan partai politik. Defbry Margiansyah mengungkapkan, hasil penelitian menunjukkan, 55% atau 318 wakil rakyat adalah pebisnis, 45% non-pebisnis. Pebisnis adalah anggota DPR yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan bisnis. Mereka menduduki posisi antara lain manajer, direktur, direktur utama, komisaris, komisaris utama, dan pemilik.

Jika dikupas per fraksi di DPR, maka diperoleh komposisi lebih rinci tentang keberadaan  pebisnis. Di Fraksi PDI-P terdapat 73 pebisnis dan 55 non-pebisnis, Gerindra 52 pebisnis-26 non-pebisnis, Golkar 51-34, Nasdem 33-26, Demokrat 30-24,  PAN 30-14, PKB 29-29, PKS 14-36, dan PPP 14-13.

Sektor usaha

Lalu apa saja sektor usaha yang jalankan para wakil rakyat itu? Penelitian tersebut mencatat, ada sembilan sektor yang digeluti yaitu perkebunan, ,perikanan dan peternakan (96 orang); teknologi, industri, manufaktur, dan ritel (142); developer dan kontraktor (115), energi dan migas (140); hotel, pariwisata, hiburan, dan olahraga (68); IT, media, dan percetakan (65);  jasa, pendidikan, dan pelatihan (92); investasi, keuangan dan perbankan (55); otomotif, transportasi, dan logistik (62); serta yang tidak teridentifikasi sebanyak 108 orang.

Dari 34 daerah pemilihan (provinsi), tidak ada yang absen dari pebisnis. Di dapil gendut seperti Jawa Barat, dari 91 yang dikirim ke Senayan,  48 di antaranya adalah pebisnis. Di Jawa Tengah, dari 78 wakil rakyat, 50 pebisnis. Sedangkan Jawa Timur, dari 85 wakil rakyat terdapat 45 pebisnis.

Ternyata jumlah perusahaan yang dimiliki anggota dewan, lebih banyak dari jumlah wakil rakyat di Senayan. Jumlah totalnya sebanyak 943 perusahaan. Rinciannya, anggota Fraksi PDIP memiliki 213 perusahaan, PAN 81, Nasdem 99, Golkar 166, Gerindra 185, Demokrat 194, PPP 21, PKS 24, dan PKB 20. Peta ini disebut sebagai bayang-bayang kepentingan di DPR RI. Diperkuat pula dengan anatomi 166 afiliasi, yang berpotensi menjadi jejaring oligarki.

“Dengan adanya 55% Pebisnis di DPR, potensi konflik kepentingan dalam pembuatan undang-undang akan semakin tinggi. Adanya keterkaitan antara bidang usaha yang dimiliki dan penempatan komisi pebisnis di DPR, mengindikasikan kerentanan agenda kerja komisi-komisi terhadap kepentingan bisnis tertentu. Terlebih absennya aturan yang mengatur penempatan anggota di komisi,” kata Defbry Margiansyah.

Dominasi pebisnis di DPR berpotensi semakin mengukuhkan konsentrasi kekuasaan oligarki dalam proses pembuatan kebijakan, dimana produk kebijakannya pun menitikberatkan pada kepentingan ekonomi bisnis dan cenderung mengabaikanaspek keadilan sosial, lingkungan, serta partisipasi publik yang inklusif. Konsentrasi kekuasaan tersebut mengindikasikan agenda politik demokratis berbasis nilai di parlemen akan semakin berat diperjuangkan, ketika berhadapan dengan kepentingan politik bisnis dari jejaring oligarki.

Selalu terdistorsi

Dalam pandangan Ketua Beyond Anti Corruption, Dedi Haryadi, hasil riset itu menunjukkan dan membuktikan fenomena  state capture corruption itu nyata ada. Istilah ini mengacu pada salah satu modus koruptor jenis baru adalah menguasai partai politik tertentu. Mereka memiliki anggota yang berada di parlemen yang bisa mengakomodir kepentingan bisnisnya.

Jika demikia, proses legislasi dan kebijakan akan selalu terdistorsi, mengarah pada pemenuhan kebutuhan dan kepentingan pebisnis atau penguasa. UU yang disebut pada penelitian ini seperti revisi UU KPK, UU Minerba, atau UU Omnibus Law Cipta Kerja adalah produk dari state capture.

Implikasi pentingnya, kata Dedi, pertama,  prevalensi korupsi, konflik perburuhan/huhungan industrial,  sengketa agraria, akan meningkat. Kedua, kontrol politik dan kontrol publik terhadap negara dalam mengelola sumberdaya publik juga bisa melemah. Ketiga, media sebagai pilar keempat negara, sudah mulai terkooptasi ketika baron media menjadi politisi juga pebisnis.

Mulusnya kelahiran sejumlah UU kontroversial, menunjukkan lemahnya kontrol publik. Organisasi masyarakat sipil dan media sudah mulai tumpul. “Lihatlah bagaimana Mahkamah Agung memberi diskon besar-besaran bagi hukuman para koruptor. Itu produk dari state capture juga,” tuturnya kepada apakabar.news, Minggu (11/10/2020).

Penindakan yang diakukan KPK praktis lumpuh, sementara distrust kepada pemerintah semakin kuat. Harus diperbanyak jumlah institusi media yang melakukan kontrol memadai terhadap oligarki ini. Fakta menunjukkan,  penguasa nenggunakan kekuatan media digital mendekonstruksi opini publik supaya mendukung mereka.

Seharusnya, media punya kemampuan melakukan hal yang sama, mendekonstruksi pesan penguasa yang keliru. Sementara masyarakat sipil yang terfragmentasi harus mengkonsolidasikan diri merajut kekuatan untuk melawan, mengontrol kekuatan dan dominasi oligarki ini.

Terlalu cepat

Bagi Dedi, riset tersebut akan lebih menarik sebenarnya, jika ada data afiliasi politisi pebisnis itu dengan kekuatan bisnis asing. Mungkin jumlahnya lebih dri 55%, kalau dihitung dengan kekuatan bisnis asing yang masuk atau mempengaruhi politisi non-pebisnis.

Namun menurut Yogi Suprayogi Sugandi, pengamat kebijakan publik, penetian Marepus Corner hanya melakukan pemetaan sosio-ekonomi. Terlalu cepat jika menyimpulkan temuannya itu sebagai praktik oligarki. Tidak semudah itu. Harus ada fakta yang menghubungkanya dengan kekuasaan dan uang.

“Itu memetakan saja. Kalau menyimpulkan itu sebagai olgarki, dengan hanya memetakakan pebisnis di DPR, itu agak sulit. Harusnya memetakan pula kebijakan-kebijakan yang dilahirkannya. Merugikan atau tidak, harus ada penilitian lanjutan,” kata dosen Fisip Unpad ini kepada apakabar.news, Minggu (11/10/2020).

Studi awal tersebut harus disusul dengan riset lanjutan.  Misalnya, meneliti relasi DPR dengan mitra-mitranya. Bagaimana hal serupa terjadi di eksekutif dan yudikatif. Benang merahnya akan terihat lebih jelas. Lebih bagus lagi kalau penelitian dipertajam ke daerah-daerah, yang salah satunya bisa membuka tentang lahirnya sejumlah peraturan daerah. (Enton Supriyatna Sind)***

1 Comment

Tinggalkan Balasan ke Izur Batalkan balasan

%d blogger menyukai ini: