Jumat, 29 Maret 2024

Bahaya, Jika Industri Media Ambruk

(dok. Harian Bhirawa)
(dok. Harian Bhirawa)

BANDUNG, (AKN).-  Pemerintah harus punya kebijakan afirmatif belanja media, untuk membantu kehidupan pers yang saat ini mengalami guncangan akibat pandemi Covid-19. Jika langkah itu tidak dilakukan, maka program-program pemerintah untuk menangkal hoaks dan menumbuhkan literasi media berada diambang kegagalan.

“Bisa dibayangkan apa jadinya jika  teman-teman jurnalis tidak bisa lagi dipekerjakan oleh industri media. Maka hoaks, disinformasi, dan sejenisnya akan merajalela. Sebab itulah, lembaga-lembaga pemerintah, kementerian dan lainnya harus punya kebijakan afirmatif belanja media,” katanya Ketua Fraksi Nasdem DPR RI, Ahmad M Ali, di Bandung, Rabu (30/9/2020).

Dia menegaskan, kebijakan afirmatif bagi keberlangsungan industri media mutlak diperlukan saat ini. Diakuinya, pada masa gempuran informasi yang bertubi-tubi sekarang ini,  hanya kerja jurnalistik yang bisa menjadi harapan masyarakat untuk tersajinya informasi yang sehat. Jika industri media benar-benar, akan menjadi bahaya bagi Indonesia.

“Sebenarnya langkan pemerintah sudah tepat menciptakan kebutuan terhadap industri media , melalui kampanye anti-hoaks dan penyesatan informasi. Namun tetap perlu juga didukung  dengan suplai, belanja media dari institusi pemerintah. Begitu banyak kebijakan dan rencana strategis pemerintah yang perlu disosialisasikan,” kata Ali.

Peran strategis

Sementara itu anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan menilai, di masa pandemi ini ada langkah perusahaan-perusahaan yang pemotongan belanja media mainstream, dan memindahkannya ke media  sosial. Hal itu dikhawatirkan mengancam keberlangsungan industri media.

“Industri media punya peran strategis sebagai sumber verifikasi berita dan informasi. Akuntabilitas media mainstream lebih tinggi daripada sekedar konten sosmed,” ujarnya. Media merupakan bagian dari empat pilar demokrasi, yang harus tetap menjadi jembatan bagi perusahan maupun lembaga pemerintah dan sejenisnya.

Mengutip survey yang dilakukan Imogen Communication Institute (IGI) terhadap 140 media di 10 kota besar di Indonesia, Farhan menyebutkan, sebanyak  70,2 persen responden menyatakan pandemi Covid-19 ini berdampak terhadap bisnis media.

Sebab itu Farhan mendukung agar pemerintah pusat dan daerah mengalokasikan anggaran yang memadai untuk belanja iklan di media mainstream, sebagai bagian dari menjaga ketahanan nasional.

Sejumlah insentif

Pada bulan Juli lalu, pemerintah memastikan industri media akan menerima sejumlah insentif guna mengatasi ancaman penutupan perusahaan pers dan pemutusan hubungan kerja (PHK)  akibat pandemi Covid-19.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan itu dalam temu virtual bersama Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate, Ketua Dewan Pers Mohammad NUH, dan sejumlah perwakilan asosiasi media massa nasional di Jakarta, Jumat (24/7/2020).

Pada kesempatan tersebut terdapat tujuh poin yang disampaikan pemerintah. Pertama, pemerintah akan menghapuskan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi kertas koran. PPN terhadap bahan baku media cetak menjadi tanggungan Pemerintah.

Kedua, pemerintah melalui Kementerian Keuangan, akan mengupayakan mekanisme penundaan atau penangguhan beban listrik bagi industri media. Ketiga, Pemerintah akan menangguhkan kontribusi BPJS Ketenagakerjaan selama 12 bulan untuk industri pers dan industri lainnya lewat Keppres.

Keempat, pemerintah akan mendiskusikan dengan BPJS Kesehatan terkait penangguhan pembayaran premi BPJS Kesehatan bagi pekerja media. Kelima, pemerintah memberikan keringanan cicilan Pajak Korporasi di masa pandemi dari yang semula turun 30% menjadi turun 50%.

Keenam, pemerintah membebaskan pajak penghasilan (PPh) karyawan yang berpenghasilan hingga Rp200 juta per bulan. Ketujuh, pemerintah akan menginstruksikan semua kementerian agar mengalihkan anggaran belanja iklan mereka, terutama iklan layanan masyarakat, kepada media lokal. (Sup/AKN).***

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: